فوائد البنوك هى الربا الحرام


© Prolog
Agama Islam adalah suatu sistem serta jalan hidup yang utuh dan terpadu. Ia memberikan panduan yang dinamis dan lugas terhadap semua aspek kehidupan, termasuk sektor bisnis dan transaksi keuangan. Maka sangat disayangkan, dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar keuangan, karena yang pertama adalah dunia putih, sedangkan yang kedua adalah dunia hitam, penuh tipu daya dan kelicikan. Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang apabila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Ilahi.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan Asia khusunya serta resesi dan ketidak seimbangan ekonomi global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi di atas salah total, bahkan ada sesuatu yang “tidak beres” dalam sistem yang kita anut selama ini.

Tidak adanya nilai-nilai Ilahiyah yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga “penyuntik darah” pembangunan ini sebagai “sarang-sarang perampok berdasi” yang meluluh lantakkan sendi-sendi ekonomi bangsa.
Melalui makalah yang sederhana ini, penulis mencoba untuk menggali sedikit tentang kontroversi hukum bunga bank, apakah mua’malah tersebut termasuk halal ataukah haram? Mudah-mudahan makalah yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi teman-teman.

© Pembahasan
Pembahasan tentang hukum bunga bank sangatlah luas, sehingga hal ini memicu kontroversi penetapan hukum bunga bank dikalangan Ulama. Sebelum kita membahas lebih dalam tentang hukum bunga bank alangkah baiknya kita membahas lebih terdahulu konsep Islam tentang riba, karena antara riba dan bunga bank bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat bahwa riba hukumnya haram, hal pengharaman riba ini tercantum di dalam Al-Qur’an dengan nash yang sharih. Akan tetapi permasalahan yang masih menjadi perdebatkan dikalangan ulama adalah mua’malat bunga bank apakah termasuk al-riba al-muharram atau tidak?

BAB I
RIBA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Definisi Riba
Pengertian riba secara terminologi bahasa bermakna ziyadah (tambahan), atau sesuatu yang bertambah . Menurut pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan pengertian riba secara istilah, ada beberapa pendapat, diantaranya:
Pertama: “segala sesuatu yang bertambah dari harta pokok atau modal adalah riba, baik sedikit ataupun banyak tambahan itu” .
Kedua : “riba adalah setiap yang bertambah atas syarat dari harta pokok atau modal, yang diambil tanpa adanya bisnis ataupun usaha ” .
Ketig : “ Riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil ”.
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.

B. Jenis-Jenis Riba
secara garis besar, riba di kelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli, adapun perinciannya sebagai berikut:
1. Riba Utang Piutang:
a. Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihannya tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang.
b. Riba Jahiliyyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjamtidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
2. Riba Jual Beli:
a. Riba Fadhl
pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
b.Riba Nasi’ah
penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Para ahli islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Adapun kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

C. Larangan Riba Dalam Al-Qur’an Dan As-Sunnah
1. Larangan Riba dalam Al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat didalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan melalui empat tahap, :
Tahap pertama: ”Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka( yang berbuat demikian) itulah orang2 yang melipat gandakan (pahalanya)”. (ar-Ruum:39.
Tahap kedua: “ maka, disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan rib, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (an-Nisa: 160-161).
Tahap ketiga: “ Hai orang-orang yang beriman , janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Ali Imran: 130).
Tahap keempat: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”. (al-Baqarah: 278-279).
2. Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, melainkan juga As-Sunnah yang posisi umumnya berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an. Rosulullah Saw. di dalam Sunnahnya banyak sekali menjelaskan bahwa riba hukumnya adalah haram, dan itu termasuk salah satu dari beberapa macam dosa besar, dan juga salah satu kejahatan yang berdampak pada kerusakan yang sangat besar.

Bab II
HUKUM BUNGA BANK
Membungakan uang, adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung resiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap .
Penetapan hukum bunga bank masih menjadi dilema, antara halal atau haram. Mayoritas ulama telah menetapkan bahwa hukum bunga bank adalah haram, namun hanya minoritas dari kalangan ulama yang menghalalkannya. Dr. Yusuf Qardhawi di dalam bukunya Fawaidu al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, sangat menyayangkan sekali akan perdebatan penetapan hukum bunga bank -yang sebenarnya sudah sangat jelas akan keharamannya-, tak kunjung usai hingga saat ini. Beliaupun menghimbau kepada umat Islam untuk lebih banyak mencurahkan perhatiannya dalam membangun kembali perekonomian Islam, dengan tahapan-tahapan, adapun tahap awal yaitu menghalalkan apa yang telah Allah halalkan, dan mengharamkan apa yang telah Allah haramkan, dengan menjalankan apa yang telah Allah tentukan di dalam mua’malat iqtishadi, hingga pada akhirnya kita sampai pada tahapan terakhir yaitu mencari solusi pas yang sesuai dengan syari’ah, contohnya adalah: perbankan syari’ah .
Pada bab ini kita akan mencoba untuk mengkaji tentang polemik yang terjadi di dalam penetapan hukum halal-haramnya bunga bank, dengan dalil-dalil yang mereka gunakan untuk melegalkan argumen mereka.

1. Bunga Bank Haram
Mayoritas ulama di seluruh belahan dunia sepakat, bahwa hukum bunga bank adalah ar-riba a-lharam. Berikut ini adalah fatwa-fatwa tentang haramnya bunga bank dari berbagai organisasi Nasional maupun Internasional :
a. Ormas Indonesia
• Majlis Tarjih Muhammadiyah
Majlis tarjih Muhammadiyah telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi perbankan (1968 dan 1972), keuangan secara umum (1976), dan koperasi simpan pinjam.
Majlis Tarjih Muhammadiyah Sidoarjo (1968), memutuskan:
a. Riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal.
c. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milk negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
d. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khusunya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
• Lajnah Bahsul Masa’il Nahdatul Ulama
Mengenai bank pembungaan uang, lajnah memutuskan masalah tersebut melalui beberapa sidang. Menurut lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini.
a. Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Syubhat, sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
b. Organisasi Internaisonal
• Sidang Organisasi Konfrensi Islam (OKI)
Semua peserta sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut.
a. Praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syari’ah Islam.
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
• Konsul Kajian Islam Dunia (Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah)
Muktamar Islamiyah kedua yang dilaksanakan oleh Konsul Kajian Islam Dunia di Cairo pada bulan Muharram tahun 1385 Hijriyah, bertepatan dengan bulan Mei 1965 Masehi, yang di hadiri oleh 35 Negara Islam memutuskan sedikitnya 5 point penting, 3 diantaranya ialah:
a. Tambahan yang terdapat pada semua hal pinjam-meminjam hukumnya haram, baik pinjaman itu berupa kredit konsumtif atau kredit produktif, berlandaskan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Sedikit dan banyaknya riba adalah haram, dengan nash Al-Qur’an yang sharih, Allah Swt berfirman yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (Qs. Ali Imran: 130).
c. Kegiatan meminjam dan dipinjamkan dengan unsur riba adalah haram, kecuali jika dalam keadaan terpaksa.

2. Bunga Bank Halal
Adapun pendapat ulama yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal , mempunyai beberapa alasan dalam pengambilan riba, diantara alasan-alasan atau dalil-dalil tersebut adalah:
a. Dalam keadaan darurat, bunga bank halal hukumnya.
Alasan darurat inilah yang digunakan syeikh Syaltut (mantan syaikh AL-Azhar), untuk menghalalkan bunga bank, beliau pernah berkata “bila keadaan darurat, baik darurat individu maupun sosial, maka boleh dipungut bunga tersebut. Namun yang harus kita ketahui, adanya pengakuan yang dikeluarkan oleh direktur kantor beliau, yang mengatakan bahwa syaikh Syaltut mencabut kembali fatwanya secara lisan ketika menjelang akhir hayatnya.
b. Hanya bunga bank yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang wajar dan tidak mendzalimi diperkenankan.
Pada alasan ini Dr. Yusuf Qardhawi angkat bicara dengan mengatakan bahwa pelegalan semacam ini telah dihembuskan lama semenjak awal abad ini dengan berpatokan pada ayat 130 dari Surat Ali-Imran. Allah Swt. berfirman yang artinya; “hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. Dr. Yusuf Qardhawi berkata “sebagaimana telah kita ketahui bahwa pensifatan dengan kalimat Adh’afan Mudha’afah ini adalah menerangkan kondisi yang terjadi pada waktu itu, saat itu bangsa Arab benar-benar telah melampaui batas dalam melakukan transaksi yang mengandung riba hingga berlipat ganda. Maka pengecualian pada alasan itu sangat jauh dari kebenaran.
c. Bank sebagai lembaga, tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa, ketika ayat riba diturunkan dan disampaikan Rasulullah, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Danamon atau bank Lippo tidak terkena hukum taklif, karena pada saat nabi hidup hal tersebut belum ada. Pendapat ini jelasmemiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis, diantaranya:
1. Tidak benar bahwa pada zaman pra Rasulullah Saw. tidak ada badan hukum yang mengurus keuangan sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan banyak lembaga keuangan yang dapat pengesahan dari pihak penguasa.
2. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu atau peroranga secara keseluruhan.
3. Dilihat dari sisi mudharat yang ditimbulkan, perusahaan dapat melakukan mudharat yang bahayanya lebih besar dari perorangan.

Epilog
Kurang lebihnya mohon maaf, Wallahu A’lamu Bisshawab, Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wassalamu A’laikum Warah Matullahi Wa Barakatuh.

Selengkapnya......

Mengenal Eksistensi Tuhan


Bagi kita orang beragama, tidak dapat dipungkiri bahwa hidup di dunia ini membutuhkan Tuhan, karena Tuhanlah -yang memberikan nikmat dan kehidupan- kita memiliki sandaran ketika mendapatkan ujian ataupun musibah. Tuhan dengan sebutan apapun itu, manusia tetap membutuhkan sesuatu di luar dirinya selain manusia lainnya yang dapat menopang semua keluh kesah serta semua harapannya. Sehingga tidak aneh jika pada zaman dahulu manusia kerap kali menciptakan tuhan-tuhan untuk mereka sembah, walaupun ketika tuhan-tuhan yang mereka ciptakan sendiri itu tidak relevan dan tidak efektif lagi, maka dengan sendirinya ajaran agama serta tuhan-tuhan mereka pun berganti seiring berjalannya waktu.

Adapun bagi orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan maka hidup mereka bersandarkan kepada diri sendiri serta kepada hukum kausalitas yang mereka anggap alamiah tanpa melibatkan peran Tuhan di dalamnya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan, Nabi serta apa yang dibawanya itu tidak lebih dari sekedar dongeng belaka. Dimana sosok Tuhan dihadirkan dan lahir dari pemikiran manusia itu sendiri, bersifat gaib, suci serta digambarkan berbeda dengan makhluknya, adapun sosok nabi sendiri dipandang sebagai pembohong yang membawa risalah. Seiring berjalannya waktu, kultur alamiah membentuk kita untuk melihat kepada sesuatu yang bersifat fisik dan materi yang bisa diraba ataupun dilihat oleh panca indera manusia, sehingga muncul pernyataan-pernyataan bahwa Tuhan itu haruslah bisa dilihat dan dirasa secara kasat mata.

Kalaupun tuhan itu tidak bisa dilihat ataupun bersifat abstrak, maka tuhan itu tidak ada dan hanya karangan manusia belaka. Akan tetapi bisakah akal manusia membuktikan eksistensi Tuhan?

Disadari ataupun tidak, sedari zaman dahulu manusia selalu mencari eksistensi Sang Maha Pencipta dengan akalnya. Bahkan contoh kecil akal selalu berpikir mengenai eksistensi adalah ketika kita kecil terkadang sering bertanya-tanya kepada diri sendiri mengapa kita terlahir sebagai tubuh dan perasaan kita yang ini, keluarga yang begini, di lingkungan ini, serta dengan kondisi yang seperti ini? Lalu mengapa tidak terlahir sebagai orang lain ataupun menempati posisi teman kita sehingga kita pun bisa melihat diri kita dan orang lain melalui kacamata teman kita, bukankah itu akan terlihat lebih bagus? Ya akan terlihat bagus, karena kita sendiri yang mempunyai kehendak untuk berandai-andai dan mengatur segalanya agar berjalan seperti apa yang kita pikirkan. Dan tentunya orang lainpun akan berpikir dan berandai-andai seperti kita, sehingga setiap kita mempunyai kehendak mengatur hidup di alam ini. Ataukah hal seperti contoh tadi adalah suatu kebetulan biasa sehingga setiap kita menempati posisi masing-masing secara kebetulan tanpa ada yang mengatur? Hal lebih luasnya manusia berpikir tentang alam semesta ini, keteraturan serta hukum kausalitas yang ada di alam semesta ini, dimana ada sebab pasti ada akibat begitu juga sebaliknya, sehingga alam semesta ini terjadi pasti ada sebabnya. Dan manusia berpikir apakah penyebab terjadinya alam semesta ini, apakah terjadi secara kebetulan tanpa sebab ataupun ada sebab akan tetapi sebab yang terjadi secara alamiah, ataukah ada penyebabnya yaitu eksistensi sang Maha Pencipta yang menciptakan alam semesta ini?
Para filosof terdahulu telah menyadari bahwa ada eksistensi yang Maha Agung, walaupun kadang mereka masih meraba-raba. Plato misalnya, ia termasuk salah satu filosof yang berbicara mengenai eksistensi Tuhan, bahwasanya Tuhan adalah Sang Pencipta dan pengatur alam semesta ini sehingga tercipta sedemikian teratur dan rapi sehingga faktor kebetulan begitu kecil peluangnya jika dikatakan alam semesta ini terjadi secara kebetulan tanpa ada yang mengatur dan menciptakannya. Dan Plato sendiri mengemukakan bukti-bukti tentang eksistensi Tuhan diantara yang terpenting adalah bukti tentang kerapian. Plato berpendapat bahwa alam ini merupakan suatu tanda keindahan dan kerapian, selamanya alam ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan melainkan dia adalah ciptaan Zat Yang Berakal, Maha Sempurna, Pemilik Kebaikan, dan Pengatur segala sesuatu berdasarkan maksud dan hikmah tertentu. Akan tetapi Plato terbentur dengan akalnya sendiri ketika hendak menggambarkan bagaimana Tuhan membuat alam semesta ini dari sesuatu yang tidak ada, ataupun tercipta dari ketiadaannya atau disebut juga dengan creatio ex nihilo, oleh karena itu dia berpendapat bahwa semua makhluk itu tersusun dari materi dan bentuk sehingga dari bentuk itulah yang membuat materi menjadi benda-benda tertentu.

Pada akhirnya kerumitan alam semesta ini akan menggiring akal manusia serta menunjukkan bahwa ada kekuatan di luar diri manusia yang Maha Mengatur segalanya dengan sempurna. Karena alam semesta ini terlalu rumit dan sempurna jika dikatakan terjadi secara kebetulan. Ketika kita mendengar kata “kebetulan” gambaran kita adalah sesuatu yang terjadi secara tidak sengaja dan jarang terjadi. Apakah bisa dikatakan kebetulan ketika ada kumpulan huruf di suatu kotak, dan kotak tersebut terjatuh dikarenakan gempa, maka setelah terjadi gempa kumpulan huruf itu akan membentuk suatu kata atau membentuk kalimat atau bahkan menjadi sebuah paragraf, apakah mungkin terjadi yang seperti itu? Kalaupun menjadi suatu kata yang terbentuk, mungkin logika kita akan membenarkan bahwa terbentuknya kata dari sekumpulan huruf yang disebabkan gempa tersebut adalah suatu kebetulan. Ketika dikatakan kumpulan huruf itu membentuk kalimat dikarenakan oleh gempa maka logika kita akan berkata itu mungkin saja terjadi akan tetapi sulit dibayangkan. Dan jika dikatakan kumpulan huruf itu membentuk kata dan dari kata menjadi kalimat dan bahkan menjadi suatu paragraf, apakah sesuatu kumpulan kata itu mungkin membentuk paragraf yang dapat dibaca layaknya tulisan yang dibuat oleh seorang penulis? Sampai tahap ini baiklah kita katakan bahwa terbentuknya huruf menjadi kata, kalimat atau paragraf itu sebagai suatu proses yang mungkin terjadi secara kebetulan walaupun sulit sekali untuk dibayangkan bahwa kumpulan kata itu dapat terbentuk menjadi sebuah kata, kalimat bahkan menjadi sebuah paragraf yang rapi dan bisa dibaca.

Mungkin ada yang berkata contoh kumpulan huruf yang dicontohkan oleh penulis terlalu mengada-ada ataupun kecil kemungkinannya, walaupun kita hidup di alam yang penuh dengan kemungkinan. Dengan sendirinya logika kita akan berkata terlalu rumit jika kumpulan huruf itu terbentuk menjadi sebuah paragraf tanpa ada yang menyusun dan terjadi secara kebetulan. Lalu bagaimana dengan alam semesta ini yang tercipta begitu kompleks, tersusun rapi dan berjalan secara beraturan, bukankah keteraturan alam semesta ini suatu contoh yang amat sangat rumit jika dibandingkan dengan kumpulan huruf di kotak tadi? Lalu bagaimana bisa alam semesta yang sedemikian teratur ini terjadi secara kebetulan dengan sendirinya? Tentunya kita tidak percaya jika dikatakan kendaraan, pakaian dan rumah yang kita tempati terbentuk ataupun tercipta secara tiba-tiba dan kebetulan tanpa ada yang membuatnya. Kalaupun hukum kausalitas menjadi suatu standar yang dipahami dan dipakai oleh manusia, maka bukankah ketika kita menelusuri sesuatu apapun itu pada ujungnya nanti akan bertemu pada satu muara, yaitu sebab pertama yang menyebabkan semua yang ada di alam semesta ini tercipta?
Tidak semua yang tidak bisa dilihat, tidak bisa dipikirkan oleh akal dan diraba dengan panca indera kita itu tidak ada, karena panca indera kita adalah sesuatu yang terbatas, bahkan untuk melihat sesuatu yang jauh pun kita tidak bisa dan membutuhkan alat bantu. Ketika ilmu pengetahuan manusia sampai kepada taraf tertinggi menurut pandangan manusia, maka akan ada dua kemungkinan yang akan mengarahkannya. Yang pertama, manusia akan merasa bahwasanya ada eksistensi Tuhan yang Maha Tahu yang menyebabkan segalanya dan menganggap alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan. Dan yang kedua, manusia yang menganggap bahwa segala sesuatu terjadi di alam semesta ini secara alamiah yang disebabkan oleh sebab akibat seperti berjalannya rantai makanan pada ekosistem. Wallahu a’lam bish shawab.

Selengkapnya......
 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna