Ujian Itu Bernama Kehidupan



Oleh : Taufan Januardi


Hidup ini adalah ujian. Dan manusia tidak akan bisa tumbuh berkembang tanpa adanya ujian. Akan tetapi tidak semua dari kita bisa menyikapi ujian yang diberikan Allah SWT dengan sebagaimana mestinya. Begitu juga dengan imtihan yang akan segera kita hadapi yang merupakan salah satu dari sekian banyak ujian yang ada, tidak hanya kemampuan intelektual kita yang diuji dalam imtihan ini akan tetapi ruhaniah kita juga diuji ketika itu, karena dengan modal usaha tamam muqorror saja belum cukup, ada peran doa dan hubungan yang baik antara hamba dan Allah SWT di sana.

Adapun orang yang lulus dengan hasil yang memuaskan tanpa disertai dengan doa bisa jadi kurang terasa berkesan, akan tetapi sebaliknya, walaupun sakit rasanya, kita akan merasa puas jika usaha dan doa sudah maksimal walaupun kenyataan yang terjadi tidak seperti apa yang didambakan. Akan tetapi kembalikanlah segala sesuatunya itu kepada Sang Pencipta yang tentunya jauh lebih mengetahui segala macam hikmah di baliknya.

Setiap kita pernah merasakan ujian, akan tetapi tidak setiap kita bisa memaknai artinya, karena penyikapan kita terhadap ujian itu berbeda dan kadar ujiannya pun tidak sama. Ada orang yang hanya terduduk lemas dan bersandar pada dinding penyesalan tanpa pernah bangkit hanya meratapi kepingan harapannya yang telah hancur terlindas kenyataan dan terbentur takdir karena asa dan realita tak pernah berjalan berdampingan. Adapula orang yang berani menghadapi ujian itu dengan keyakinan dan kedewasaan.
Apabila disuguhkan kepada kita beberapa cangkir kopi dengan berbagai corak cangkir yang berbeda mulai dari cangkir keramik, logam, kaca hingga cangkir plastik yang biasa-biasa saja, mungkin mayoritas diantara kita lebih memilih kopi yang dituangkan dan disajikan dengan cangkir keramik, logam ataupun paling sederhana yang kita pilih yaitu cangkir dari kaca. Sedikit sekali yang berminat minum menggunakan cangkir plastik jikalau kondisinya adalah memilih diantara berbagai macam cangkir tersebut. Mungkin kita merasakan rasa nikmat tersendiri tatkala menengguk kopi dari cangkir keramik yang kita pilih dan juga akan merasakan rasa yang berbeda pula apabila kita menengguk kopi dari cangkir plastik yang biasa saja padahal isi dari kesemua cangkir itu sama dan dari satu sumber teko yang sama akan tetapi tampilan luarnyalah yang membuatnya terlihat elok ataupun berbeda sehingga paradigma orang yang merasakan minum dari cangkir tersebut pun serasa berbeda.

Begitupula kehidupan ini. Terkadang kita hanya melihat dan merasakan sesuatu berdasarkan yang terlihat oleh kasat mata saja, cukup menilai sesuatu hanya dari luar tanpa pernah menelusuri apakah yang terlihat dari luar itu sama dengan apa yang berada di dalamnya. Kita cenderung memilih sesuatu yang kita anggap indah serta ideal dan itu wajar saja selama kita manusia. Ibarat kopi dalam cangkir, kehidupan kita adalah kopi yang seharusnya lebih kita nikmati rasanya daripada sekedar melihat cangkir yang menghiasinya. Adapun cangkir dari apapun bahannya hanyalah penghias kehidupan yang seringnya digunakan sebagai pemanis ataupun sarana dalam mengarugi kehidupan ini. Akan tetapi kerap kali kita lebih terfokus kepada cangkir daripada isinya, kita lebih terfokus kepada suatu hasil terlepas hasil itu memuaskan ataupun tidak. Isi cangkir itu adalah kehidupan yang semestinya lebih kita nikmati, isi cangkir itu adalah jerih payah usaha di setiap hembusan nafas kehidupan kita, isi cangkir itu yang akan lebih bernilai dibandingkan cangkir yang mewadahinya karena bagaimanapun juga sesungguhnya yang kita inginkan adalah kopi tersebut bukan cangkirnya. Begitupun Allah SWT yang memberikan kehidupan kepada kita, Allah SWT tidak melihat cangkir yang mewadahi kopi tersebut karena “cangkir” tersebut sekedar penghias yang dibuat sedemikian rupa oleh Allah SWT.

Kekayaan, kedudukan, penghormatan, wajah yang rupawan, najah ataupun rasib adalah cangkir yang mewadahi kopi dan bukanlah segalanya dalam hidup ini. Meskipun cangkir tersebut merupakan ujian bagi siapa saja yang memegangnya. Akan tetapi Allah SWT lebih melihat kepada usaha dalam mencapai hasil yang kita inginkan dan itu merupakan ujian di dalam ujian, karena kalaulah ternyata hasil yang kita tuai adalah ketidaksesuaian dengan harapan kita, maka bisa jadi itu menjadi jalan perubahan bagi kita atau Allah SWT sedang memuliakan kita dengan ujiannya ataupun juga malah sebaliknya kita mengutuk dan mencerca jerih payah yang pernah kita lakukan tatkala kita ingin mencapai tujuan yang ingin dicapai. Dan itulah ujian hidup sesungguhnya, yang mungkin saja orang yang memiliki cangkir bagus tidak lebih baik daripada orang yang mempunyai cangkir biasa. Bahkan mungkin bisa dipandang gagal dalam pandangan manusia pada umumnya.

Ujian sudah di depan mata. Tak kita hampiri pun ia akan datang dengan sendirinya dan hasil bukanlah segalanya karena Allah-lah yang menentukan hasilnya. Dan Allah SWT tidak akan pernah dzalim dengan usaha yang dilakukan hamba-Nya kalaupun ternyata sudah usaha sekuat tenaga akan tetapi predikat rasib yang didapat maka ujian yang kita dapat lebih besar daripada ujian yang orang lain dapat dan natijahnya pun akan lebih besar di mata Allah SWT jikalau kita bisa mengerjakannya dengan baik.

Disamping kita musti optimis dengan apa yang kita cita-citakan, terkadang kita juga musti melihat sesuatu itu dari belakang ataupun dari sudut terburuk yang tidak kita inginkan. Karena ketentuan keinginan ada dua; kalaupun keinginan kita sejalan dengan realita maka itu yang kita harapkan benar-benar terjadi, adapun kemungkinan yang kedua adalah jikalau asa kita tidak berbanding lurus dengan kenyataan yang terjadi maka hal itu merupakan suatu ujian buat kita.

Cobalah sejenak ataupun sesekali kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin kita akan objektif dan lebih bisa melihat kekurangan diri tatkala dipandang dari kacamata orang lain. Begitu juga untuk menghargai sebuah hasil yang kita capai selain dengan cara bersyukur kepada Allah SWT terhadap apa yang telah dikehendaki-Nya, mungkin ada baiknya juga jikalau kita memposisikan diri sebagai orang yang belum beruntung diberikan hasil yang memuaskan. Adapun bagi orang yang merasa dirinya gagal serta hasil yang didapat jauh dari kata sempurna ataupun belum mendapatkan kenajahan, mungkin di setiap detik waktu yang berjalan terasa amat lama, yakinlah selalu Allah SWT sedang memperhatikan kita, cuma bagaimana kita menyikapi bentuk perhatian Allah SWT itulah yang musti kita respon dengan sikap terbaik. Karena tidak akan pernah merasa hina walaupun hasil yang didapatkan jauh dari sempurna di hadapan manusia jika kita menggantungkan segala urusan kita kepada Allah.

Kita tidak pernah tahu rasanya sakit karena terjatuh jikalau kita belum pernah terjatuh. Kita tidak pernah tahu pilu rasanya bertepuk sebelah tangan jika kita belum pernah merasakan sisi lain dari mencinta dan kita tidak pernah merasakan lamanya waktu berlalu apabila kita belum pernah merasakan kehilangan. Untuk mengetahui itu semua, tidak perlu menunggu mengalami kondisi seperti itu, karena ujian setiap kita berbeda dan yang menjadi sama untuk kita semua adalah apakah kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari apa yang kita dapat dan kita lihat.

Janganlah seperti orang merugi atau orang kafir yang menyesali diri di kemudian hari tatkala ternyata janji Allah SWT itu benar adanya. Jangan pula seperti Fir’aun yang begitu angkuh dan enggan menerima kebenaran yang disampaikan oleh nabi Musa AS sehingga butuh ditenggelamkan untuk mengorek isi hatinya dan mengakui kebenaran yang dibawa nabi Musa AS. Jangan pula menjadi orang-orang yang hanya bisa diam termangu menunggu, karena kesempatan tidak datang untuk kedua kalinya dan waktu akan terus berjalan tanpa pernah menoleh dan tanpa pernah menghiraukan apa yang terseret sang masa. Selalu tanamkan dalam diri kita “hope for the best and prepare for the worst” karena kita tidak pernah tahu bagaimana hasil yang akan kita dapatkan kelak. Wallahu a’lam bi shawab.

Selengkapnya......

Demokrasi, Sebuah Jargon Politik


Oleh : Ekta Yudha Perdana

Pesta demokrasi terbesar telah berakhir. Saatnya menunggu mentari pagi menyambut dengan senyuman yang lebih berarti. Tak akan usang menunggu para politikus ulung memainkan kata dan bersilat lidah untuk menyukseskan apa yang mereka inginkan. Dengan agenda program dan janji-janji palsu telah disebarkan, air-air kemunafikan telah disemburkan. Dengan mengatasnamakan demokrasi banyak yang mendukung dan mendulang suara banyak di dalam pemilu. Memang kita terkadang tertipu dengan jargon yang disampaikan oleh para elite-elite politik, dan banyak dari masyarakat bahkan para aleg (anggota legislatif) yang tak mengerti esensi dari demokrasi tersebut.

Demokrasi. Siapa yang tidak tahu, atau setidaknya, tidak pernah mendengar tentang demokrasi? Semua orang pasti mengetahui tentang apa itu demokrasi. Demokrasi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hampir semua negara di dunia sudah menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, “Demos” yang berarti rakyat atau masyarakat, dan “Crato” yang berarti pemerintah. Berdasarkan terminologi ini, demokrasi mengandung makna pemerintahan mutlak ada di tangan rakyat. Atau yang lebih kita kenal dengan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintah yang memimpin sebuah negara demokrasi dipilih oleh rakyat, melalui suara terbanyak.

Hukum-hukum yang berlaku di negara demokratis adalah hukum-hukum manusia. Hukum ini dibuat oleh perwakilan rakyat, dan dijadikan sebuah hukum yang mengikat dalam bentuk undang-undang. Semua orang harus mematuhi undang-undang (hukum) buatan manusia ini. Siapa saja yang melanggar akan dikenai sanksi.

Pencetus sistem demokrasi adalah kaum kufar. Tujuan dari pencetusan sistem ini adalah untuk “menciptakan” persamaan hak bagi semua warganya. Namun dalam perjalanannya, sistem ini justru memicu munculnya berbagai faham yang menandinginya. Diantara faham tersebut diantaranya adalah fasisme dan komunisme, yang berseberangan dengan demokrasi itu sendiri. Setelah kedua faham tersebut musnah, demokrasi menjadi “jawara” sistem pemerintahan yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia.

Lantas, bagaimanakah pandangan Islam tentang demokrasi? Apakah sistem demokrasi ini sesuai dengan ajaran Islam?
Sebelum kita memasuki hukum tersebut maka yang harus dimengerti adalah makna dari politik itu. Dunia politik adalah dunia yang sarat dengan jargon dan ungkapan yang sangat bombastis. Karena watak dari politik adalah bagaimana mendapatkan dukungan dan suara sebanyak-banyaknya. Dan memang tidak jarang, jargon yang selalu didengungkan di dalam iklan partai politik terkadang tidak sesuai dalam tataran aplikatif.

Jargon demokrasi

Dan saat ini bukan hanya Indonesia saja yang ngetrend terminologi demokrasi, melainkan juga di dunia. Istilah demokrasi sangat kental di telinga kita semua. Dan setiap mereka punya istilah yang sama, tapi bisa jadi esensi dari demokrasi itu berbeda-beda.

Kita juga kenal dengan seorang proklamator Indonesia, Soekarno menggunakan istilah demokrasi, namun banyak kalangan juga yang menilai bahwasanya ia seorang diktator. Dan bukankah juga kita kenal dengan seorang yang dijuluki sebagia Bapak Pembangunan, ia mengusung nama demokrasi? Mempunyai nama yang sama, tetapi dalam isi dan esensi yang jauh berbeda. Demokrasi yang dibawa Soekarno dengan sebutan “demokrasi terpimpin” sedang demokrasi yang dibawa soeharto “demokrasi pancasila”.

Demokrasi tinggi “mahar”-Nya.

Setiap orang banyak mengungkapkan kata demokrasi, tetapi di lapangan jauh berbeda kenyataannya. Banyak obral janji mengatasnamakan akan mengusung faham demokrasi, padahal esensi dari demokrasipun disalahartikan. Dengan semakin moderennya kurun waktu saat ini, kata demokrasi adalah bentuk lawan dari kediktatoran, kedzaliman, keserakahan, korupsi. Dan partai yang berasaskan Islam tidak mengusung demokrasi. Karena sebagian umat Islam banyak yang berpendapat demokrasi bukan dari Islam, berarti harus dijauhi, dan dibuang ke tong sampah.

Jadi banyak partai yang tidak berasaskan Islam di Indonesia mengeluarkan statemen, bahwasanya partainya mengusung demokrasi. Memang terbukti jargon mengusung demokrasi sangat jitu dalam meraih suara. Kita lihat saja di negara kita, partai Islam kalah di Indonesia dibandingkan partai nasionalis, kenapa? Karena yang didengungkan partai Islam sesuatu yang masih phobia didengar oleh masyarakat.

Seperti khilafah Islamiyah, penegakan syariah. Itu yang membuat masyarakat Indonesia masih takut. Dan belum relevan untuk direalisasikan di Bumi Pertiwi saat ini. Tetapi kenapa jargon syariah, pendirian khilafah itu sudah dimunculkan di permukaan, bukankah semua butuh proses, dengan istilah “slowly but sure”?
Tetapi karena cerdiknya partai yang mengusung faham demokrasi -walau hanya sekedar jargon saja, tidak ada bukti kongkrit, dan tidak mendapatkan esensi dari faham itu- mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat. Karena masyarakat lebih takut seandainya syariah diterapkan di Indonesia; yang terpikir adalah potong tangan, rajam, dan segala sesuatu yang berbau kekerasan itulah syariah, yang akan diaplikasikan jika seandainya partai Islam menjadi penguasa di Indonesia.

Padahal sesungguhnya, malah kita ketahui, yang banyak melakukan korupsi, sekandal perempuan, illegal mining, itu partai di luar Islam. Malah ada dari partai Islam yang mengembalikan gratifikasi uang, tidak ada yang terjerat korupsi. Tetapi itulah pentingnya sebuah jargon: atas nama demokrasi.

Nabi berpartai, berdemokrasi.

Sesungguhnya nabi Muhammad saw dan para sahabatnya tidak pernah mengenal pemilu, atau pesta demokrasi yang sekarang ada di negara kita, apalagi membangun partai atau mengurusi partai politik. Dan itu disepakati oleh para ahli sejarah, para ulama, dan juga semua umat Islam.

Dengan realita yang seperti itu, maka sebagian umat Islam mengharamkan mendirikan partai politik, dengan landasan tidak pernah Rasul dan para sahabatnya mengerjakan itu. Bahkan ada statemen unik, mem-bid’ah-kan perbuatan itu, dan akan masuk neraka orang yang berpolitik. Ada juga yang berasumsi bahwasanya demokrasi yang dilakukan itu adalah sistem kafir. Maka semakin haram saja hukumnya.

Dan di seberang pendapat ada yang mengungkapkan tidak jadi masalah kita melakukan politik praktis, walau tidak dilakukan Rasul, karena dengan tujuan untuk meng-islah-kan sesuatu yang telah rusak di parlemen. Pendapat ini dikomandoi syeikh al-Banni, Muhammad Rasyid Ridha, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, dll.

Penutup

Jadi jargon itu penting dalam segala hal, terkhusus yang berkenaan dengan demokrasi. Sedang tentang demokrasi hukum Islam mempunyai banyak pendapat; ada yang membolehkan, atau pun sebaliknya. Jadi kita harus realistis memberikan asumsi dalam masalah kekinian, tidak semena-mena mengharamkan demokrasi apalagi mem-bid’ah-kan. Sedangkan ulama kelas ataspun membolehkan, asalkan untuk kebaikan dan merubah menjadi yang lebih berkwalitas.

Kita hidup di dunia nyata, maka jangan kita menghayal di dunia mimpi yang tak ada gunanya untuk kebangkitan umat Islam. Kita akan selalu kerdil. Sekarang dunia telah menggunakan jargon demokrasi, termasuk Indonesia. Maka sebaiknya umat Islam juga mempunyai makna ini, dan mengikuti perkembangannya. Kalau ada kekurangannya maka tugas kita untuk memperbaikinya, bukan “demam” jika mendengar kata ini.
Jadi kita harus memandang Islam secara lugas, memahami syariah secara dewasa dan jangan kaku, agar tidak menyebabkan kebuntuan akal dalam memahami permasalahan umat yang kompleks dan terus dinamis. Wallahu a’lam bishwab

Selengkapnya......

Mereka yang hidup di persimpangan


Oleh: Ahmad Adi Andriana

Umat itu terlahir dari interaksi panjang dengan al Quran. Hadir di titik antara harapan dan takdir. Tumbuh untuk menjadi idealisme sejarah tentang kedewasaan optimal. Dan hidup untuk menjadi hidayah dan hadiah bagi kemanusiaan. Bermula dari ruang sempit di atas puncak Jahiliah di abad ke-enam dan kemudian memutarbalikan realitas dari akar menjadi buah, dari sampah terbuang menjadi intan berharga dan dari gersang menjadi mata air dunia.

Setelah itu mengukuhkan diri sebagai satu-satunya umat yang memiliki susunan batu bata: wahyu terotentik diantara kitab suci yang turun dari langit. Akidah pemersatu sepanjang garis sejarah, tetap berdiri di atas perbedaan geografi tanah, bahasa dan ras. Syariat pemandu perjalanan, jaminan sampai di titik kebahagiaan dunia dan akhirat. Ruh jihad pelepas rantai ketidakadilan, dalam kurun waktu delapan puluh tahun lebih luas daripada yang mampu dilakukan Romawi selama delapan abad. Warisan turats yang kaya dan melimpah, menjadi ibu asuh bagi bangsa Barat meraih kedewasaan dan kebangkitan dari kegelapan abad pertengahan. Tanah air terluas, tanpa sekat dan garis pemisah negara. Peradaban berwarna Islam, merangkai peradabanya dengan tenunan keseimbangan dan prinsip agung tanpa batas ruang dan waktu. Dan umat itu, umat Islam namanya.

Tapi langit tak selamanya cerah, selalunya ada awan mendung menutupinya. Tepat setelah penjajah menginjakan kaki, putaran haluan mulai merambah. Sebagai contoh jika sejarah sebelum itu selalu menempatkan Islam sebagai marja dalam menjawab setiap tantangan, maka setelah itu berputar menjadi dua marja. Islam dan Barat. Itulah mengapa setiap ijtihad dan pembaharuan dari berbagai titik tolak sebelum itu tidak pernah ditandai dengan label Islami, karena memang tidak ada alternatif lain selain Islam.

Inilah saat yang disebut persimpangan sejarah, dan para pahlawan biasanya selalu hadir di titik itu. Maka tercatatlah nama Jamaludin al Afgani, seorang revolusioner kebangkitan dan hentakan. Muhammad Abduh, seorang pembaharu dunia dengan agama. Yang kemudian bertransformasi ke dalam sebuah gerakan bernama al Jamiah al Islamiyah. Dengan memiliki dua sayap, satu di Timur dan lainya di Magrib. Di Timur di bawah seorang pemikir Abdurahman al Kawakibi dan di Magrib di tangan Abdurahman bin Badis.

Dari merekalah ide-ide besar muncul. Ide besar tentang perubahan. Bahwa perubahan itu hanya bisa digapai dengan alternatif Islam dan dari dalam lipatan kain pemikiran islam. Bukan selainnya. Oleh sebab itu Afgani misalnya, mengatakan “obat paling mujarab bagi kemunduran umat Islam hanya terdapat jika dikembalikan pada kaidah agamanya, dan siapa yang mencari perbaikan dengan jalan selainnya maka ia telah melakukan kekeliruan besar. Tujuanya akan terjungkir balik; umat tidak akan bertambah apapun kecuali kemalangan dan tidak akan mendapatkan apapun kecuali kesengsaraan” karena menurutnya “agama, adalah sebab kebahagiaan manusia, jika agama itu murni dan benar sesuai perintah Ilahi, tanpa tercampur dengan kerancuan dari orang yang meyakininya. Agama itu akan menjadi sumber kebahagiaan sempurna dan kenikmatan luar biasa yang akan membawa pemeluknya ke tingkatan teratas kesempurnaan dan puncak keutamaan”.

Atau Abduh, menyatakan ”Islam adalah satu satunya jalan perbaikan bagi umat Islam dan realitasnya, itu karena jiwa mereka telah tunduk, bahkan telah menjadi karakter di dalam struktur kepribadian, maka orang yang mencari perbaikan di luar agama, telah menanam benih di atas tanah yang tidak cocok, sehingga tidak akan tumbuh apapun, dan hanya menyia-nyiakan lelah dan merapat dengan kegagalan”.

Ciri ciri ide mereka adalah; salafiyah, rasionalisme dan pencerahan. Salafiyah berarti mengambil aqidah, tanpa khurofat dan bersih dari segala penambahan. Rasionalisme berarti menyatukan nash dan akal, tanpa ada pertentangan. Dan pencerahan berarti memandang ke depan, tanpa hanya pada masa lalu. Sebagai sebuah dasar kokoh untuk menghadapi gaya berfikir abad pertengahan yang cenderung pada kejumudan, statis dan tidak berkembang, yang menjadi icon penolakan terhadap fungsi dan anugerah akal yang sempurna. Kemudian menjadi dasar kuat dalam keikutsertaan bersama demokrasi untuk menekan arus kediktatoran dan teokrasi. Dan pada akhirnya adalah sebuah upaya mengusir penjajahan yang telah menghapus jati diri peradaban dan kembali membangun sebuah peradaban menjulang dengan tenunan rapat keseimbangan dan prinsip luhur tanpa mengenal batas ruang dan waktu, sehingga kembali menjadi hadiah dan hidayah bagi kemanusiaan yang sedang sekarat dan telah parau berteriak meminta kehadiran sang penyelamat.

Bukan berarti tertutup dan mengucilkan diri, karena menurut Abduh, setelah ia mengatakan warisan agama adalah marja dalam pembaharuannya. Sementara itu pembaharuan sistem menuntut bantuan dari setiap praktek, pemikiran, teori, pengalaman, dan ilmu pengetahuan yang telah Diciptakan manusia, baik sebelum islam maupun setelahnya. Dari muslim maupun non Islam. Atau dengan kata katanya, ”seandainya Allah menganugrahkan seorang pemimpin, yang paham akan agama, untuk mengatur mereka (umat Islam) dengan kebijakanya, maka engkau akan melihat mereka bangkit dengan al Qur’an di salah satu tanganya dan apa yang telah ditemukan pendahulu mereka dan yang diciptakan selain mereka ada di tangan sebelahnya”.

Namun bukan berarti ketika mereka tiada ide-ide itu ikut menemani ketiadaan karena ide itu tidak akan pernah mati di telan waktu, ia akan tetap hidup bernafas menghembuskan harapan, walau bukan dengan jalan lamunan, tapi ide itu tetap hidup dengan jalan estafeta sejarah, atau oleh sejarah itu sendiri, karena sejarah seperti kata Malik bin Nabi adalah, ”gerak tangan, langkah kaki, denyut hati, dan kecerdasan akal.” Dan 31 tahun setelah wafatnya al Afgani, ide-ide itu merumput menjadi sebuah gerakan rekonsiliasi yang didesain oleh tangan Hasan al Banna, menjadi sebuah gerakan terbesar, terkuat dan paling berpengaruh di abad modern, menurut pandangan yang pro maupun kontra denganya. Ide-ide itu jika sebelumnya hanya milik kalangan elit maka dengan gerakan itu menjadi konsumsi umat, karena memang mereka berhak memilikinya, dengan sebuah gerak yang tak mengenal arti perputaran jam waktu, sehingga banyak yang memprediksikan inilah awal kebangkitan Islam itu.

Selengkapnya......
 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna