Gaza dan Tragedi Holocaust



Oleh: Jauhar Maknun

Masih segar dalam ingatan kita dentuman bom yang mengguncang bumi jihad Palestina pada akhir Desember silam, tragedi yang merampas harga diri dan cita-cita bangsa Palestina yang merdeka, hingga tengkorak manusiapun ikut menjadi saksi sejarah kebiadaban zionis Israel dan pasukannya kala itu. Akankah kejayaan ummat Islam dimasa lalu akan terulang di balik pembantaian warga Gaza? Bukankah kita generasi pilihan yang disebutkan dalam al-Quran sebagai ‘khoirul ummah’ atau hanya sekedar buih di hamparan laut yang luas? Lalu bagaimana dengan kemenangan ummat Islam di masa datang yang telah dijanjikan Allah Swt. dalam kitabnya? Kitalah yang bisa menjawab semua pertanyaan itu, kitalah pelaku sejarah yang akan menentukan nasib dan cita-cita mulia ummat Islam selanjutnya, kalau bukan kita- apakah kita hanya menunggu generasi selanjutnya yang akan menggantikan kita, yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya. Bukankah menunggu itu adalah sebuah pekerjaan yang membosankan?

Nama “Holocaust” berasal dari kata Yunani yang digunakan dalam al-Kitab, yang berarti persembahan bakaran yang utuh. (Ibrani 10:6) Namun sehubungan dengan tulisan ini, “Holocaust” adalah penganiayaan dan pemusnahan 6 juta orang Eropa keturunan Yahudi secara sistematis yang disponsori negara Jerman Nazi dan sekutu-sekutunya antara tahun 1933-1945. Orang-orang Yahudi berkata “bahwa orang-orang Nazi pada masa Hitler telah membakar orang-orang Yahudi dalam sebuah ruangan berisi gas dengan fasilitas super modern.” Orang-orang Yahudi senantiasa mengeksploitasi masalah ini sampai kapanpun. Masalah ini menjadi terkenal dan tersebar, salah satu faktor yang membantu penyebaran itu adalah kekuatan media informasi yang dimiliki Yahudi sebagai tambahan atas hal itu, propaganda ini akan mendatangkan suplai dana dan rasa iba bangsa lain terhadap Yahudi, kemudian menyetujui terbentuknya negara Israel Raya yang terbentang dari sungai Eufrat di Irak sampai sungai Nil di Mesir.

Ada beberapa sebab munculnya istilah Holocaust. Smith Alhadar (penasehat pada Indonesian Society For Middle East Studies) mengatakan: “Holocasut lahir disebaban oleh dua faktor: Masalah psikologis, orang Barat tidak mampu melihat masalah ini secara kritis akibat perasaan berdosa yang mendalam akibat pembantaian kaum Yahudi. Perasaan bersalah orang Eropa ini, juga bisa kita peroleh dari buku-buku sejarah Eropa dalam konteks hubungannya dengan Yahudi. Kaum Yahudi senantiasa dijadikan sasaran penghinaan dan pembantaian orang Eropa. Kemudian masalah moral, orang Eropa ingin menghapus dosa Holocaust dengan memberikan tempat tinggal bagi bangsa Yahudi. Ironisnya tempat tinggal itu diambil dari tanah bangsa Palestina yang notabene adalah wilayah muslim.”

Survei membuktikan bahwasanya “Holocaust” hanyalah sebuah rekayasa orang-orang Yahudi. Pertama, fakta dari para pakar kimia menunjukan bahwa tempat-tempat yang digembar-gemborkan kepada masyarakat sebagai tungku pembakaran manusia dengan menggunakan gas di era Hitler, ternyata sama sekali tidak dapat digunakan sebagai tungku pemanggangan manusia, malainkan lebih mirip ruangan (kamar mandi) berisi pipa air yang sudah karatan. Kedua, dari kalangan ilmuwan Barat sendiri ada beberapa orang yang menyangkal adanya “Holocaust”. Diantaranya, pengarang Perancis Roger Garaudy, professor Robert Maurisson, dan Ernist Zundel. Tetapi hampir semuanya dinyatakan bersalah, bahkan nama terakhir yang disebutkan di atas dikenakan hukuman lima tahun penjara pada tanggal 15 Februari 2007.

Semua hal di atas sangat kontras dengan slogan negara-negara Barat yang menyatakan kebebasan berpendapat apalagi disertai bukti-bukti ilmiah tentang kepalsuan “Holocaust”. Tetapi begitu menyinggung masalah yang menggugat hal tersebut mereka (Yahudi: red) langsung memberantas habis penentang-penentangnya, sehingga banyak kalangan menilai adanya lobby Yahudi yang berdiri di belakangnya dalam mempengaruhi putusan pengadilan. Tentunya Israel akan menafsiri hal ini sebagai tanda anti-semitisme. Tetapi adalah lebih bijaksana bagi Israel untuk kembali introspeksi dan mempertimbangkan kembali
keuntungan mengeksploitasi masa lalu mereka untuk keuntungan politik.

Pertanyaan yang akan berkembang adalah: Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang lahir dari sebuah tragedi “Holocaust” melakukan hal yang sama pada warga Gaza? Maka tidak heran bila zaman sekarang banyak orang Eropa menentang perilaku Israel. Poling yang diadakan baru-baru ini menyatakan tujuh dari 10 orang Eropa menganggap Israel adalah ancaman terbesar bagi perdamaian dunia; mengungguli Korea Utara dan Iran.

Dengan berbagai daya dan upaya, orang-orang Yahudi berusaha menghalangi dan menutupi kenyataan yang sesungguhnya mengenai pembantaian enam juta orang Yahudi di kamar gaz Nazi. Tindakan keras yang ditunjukan oleh zionis itu menunjukan ketakutan mereka atas terungkapnya hasil-hasil penelitian ilmiah mengenai pembantaian enam juta orang Yahudi dalam PD II. Sangat ironis memang paradigma yang berkembang di negara kita -mayoritas masyarakat Indonesia percaya bahwa Holocaust memang benar-benar terjadi. Hal itu disebabkan karena mulai dari dunai hiburan (film, buku bacaaan, gambar) hingga bahan-bahan pelajaran kita selalu dijejali dengan mitos-mitos seputar pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi. Akibatnya kita kadang menganggap kaum Yahudi adalah kaum yang tertindas dan selalu hidup dalam bayang-bayang teror. Sudah banyak puluhan film yang kita tonton mengenai kebengisan pasukan Nazi, namun, adakah satu film saja yang menggambarkan kekejian pasukan Israel?

Salah satu korban dari sekian banyak korban akibat kekejian Zionis Israel adalah Gaza. Pasukan Israel suka membunuh dan memerangi penduduk Palestina dengan menghalalkan segala cara atas nama memerangi terorisme. Tetapi realita di lapangan sangat kontradiktif dengan apa yang mereka istilahkan dengan terorisme. Apakah mereka (Hamas-red) yang ingin membela dan melindungi warga sipil Palestina dengan aman di tanah kelahirannya disebut sebagai teroris? Kalau jawabannya adalah benar, sungguh sebuah logika yang sangat jauh dari kebenaran. Agresi militer ke Gaza yang dimulai tanggal 27 Desembar 2008 telah memakan banyak korban jiwa. Penyerangan yang diplanning hanya dalam waktu tiga hari itu tidak berhasil mereka laksanakan. Justru pembantaian itu menambah rekor buruk Yahudi di mata dunia internasional. Sebuah kejahatan perang dan kemanusiaan yang pernah ada di planet ini, karena mayoritas korban yang terbunuh dalam agresi itu adalah warga sipil Palestina dan bukan Hamas yang mereka cari.

Menentukan nasib sendiri adalah hak dasar setiap ummat manusia di dunia, tapi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri ditolak mentah-mentah.

Bahkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan para pengungsi Palestina berhak kembali ke Tanah Air mereka, sedang di lain pihak, para pengungsi itu masih dilarang Israel masuk ke Tanah Airnya sendiri. Semua membuktikan merosotnya kualitas negara-negar Barat yang mengklaim dirinya sebagai negara yang bermartabat, menghormati hukum dan hak asasi manusia. Juga menunjukan masih adanya hukum rimba yang berlaku di dunia, yang hanya memberikan legitimasi pada mereka yang memiliki kekuatan dan persenjataan, tetapi tidak memberikan kesempatan hidup pada mereka yang lemah, baik individu maupun pemerintah. Tapi ketabahan dan kesabaran rakyat dan pejuang Palestina sekali lagi telah membuat dunia pantas mengacungkan jempol, karena mereka berhasil memukul mundur dan mengalahkan rencana jahat Israel lanatullah.

Jika kita membiarkan pembantaian itu terus-menerus, lembaran sejarah akan mencatat rapot merah kita dengan tinta darah. Allah Swt. akan murka dan semua orang di dunia akan mencela kita sebagai ummat yang tidak punya rasa kepedulian terhadap sesama. Tragedi Holocasut terlepas dari benar atau sekedar rekayasa Zionis Israel; itu kembali pada Anda yang memutuskan. Yang jelas “Holocaust” bertujuan mendapatkan simpati dan dukungan Barat untuk mendirikan negara Israel Raya, hingga kemudian dijadikan legitimasi untuk bisa menyerang negara lain khususnya bangsa Palestina. Terakhir penulis mengajak kita semua, bahwa masalah Palestina adalah tanggung jawab setiap muslim. Mendukungnya dan membelanya adalah kewajiban. Mengabaikannya adalah pelanggaran terhadap agama serta aib bagi kemanusiaan. Wallahu‘alam bishowab.

Selengkapnya......

Politik Dalam Kaca Mata Islam



Oleh: Imam Taufiqurrosidin

Sering kita jumpai di koran-koran tentang demonstrasi menentang kenaikan harga BBM, tarif telepon, dasar listrik, ataupun sembako yang semakin mencekik. Marak di berbagai kota Indonesia -hampir setiap hari- berdemonstrasi dengan harapan apa yang mereka perjuangkan dapat dipenuhi oleh pemerintah. Dan berita terhangat kini adalah demonstrasi menentang agresi Israel ke jalur Gaza; tidak hanya di Indonesia, akan tetapi orang-orang dari berbagai suku, etnis, bahkan agama di berbagai pelosok penjuru dunia turut berpartisipasi menentang kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina yang telah menewaskan 1300 syuhada (400 diantaranya anak-anak yang tak berdosa).

Bagaimana dengan negara Arab yang sebenarnya adalah satu rumpun? Ternyata mereka sama saja dengan sekutu-sekutu Israel yang lainnya; hanya diam membisu. Hanya sebagian kecil yang membantu perjuangan Palestina bahkan diantaranya merestui dan membantu agresi Israel seperti Mesir dan Yordania.

Mereka lebih takut ancaman mantan presiden Amerika George Bush, “you are either with us or you are against us,” dari pada ancaman dan adzab Allah swt. Aneh!
Berbagai peristiwa yang menyedihkan dari masa ke masa semakin berkembang biak dan terus berkembang seakan sulit untuk dibendung bak cerita bersambung, sehingga hal tersebut menyita banyak perhatian masyarakat dan para pemuda seperti kita ini untuk mencari obat mujarab yang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit kronis tersebut.

Pengertian politik

Politik berdasarkan dengan pemahaman yang ada sekarang adalah sesuatu yang kejam dan kotor. Hal ini bisa kita lihat dengan realita yang ada; para politikus berlomba-lomba mencari kekuasan dengan berbagai cara “tak kenal halal atau haram,” saling sikut, saling jejal, saling tendang dan saling serang, kawan bisa menjadi lawan dan musuh bisa menjadi teman. Yang penting tujuan untuk menduduki kursi empuk dan basah bisa terealisasi. Inilah pengertian politik dewasa ini.

Sedangkan politik dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan istilah siyasah. Karenanya di dalam kitab-kitab ulama salafusshalih terdahulu banyak dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Adapun pengertian siyasah secara bahasa berakar dari kata sasa-yasusu-siyasatan. Maka jika seseorang mengatakan sasa addawaba awil farsa maknanya adalah merawatnya, melatihnya, mendidiknya. Dan Bila kata siyasah disambungkan dengan kata al-amru maka akan mempunyai makna lain; sasa al-amru siyasatan maka akan bermakna mengurusi/mengatur urusan.

Pengertian politik menurut asosiasi negara Kuwait yang dinukil dari kamus Rubir; adalah seni yang berkenaan dengan pengaturan masyarakat. Dan politik menurut undang-undang adalah prinsip-prinsip atau seni yang berkenaan dengan urusan umum. Sedangkan politik menurut pengertian Islam dalam kitab Mafahin Siyasah: pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum tertentu.

Apakah politik tercantum di dalam al-Qur'an dan Hadis?
Kata siyasah (politik) tidaklah tercantum di dalam al-Qur'an baik di surat Makiyah ataupun surat Madaniah. Dan inilah yang menjadi landasan pemikiran sebagian umat Islam yang menganut paham sekularisme; islam hanya agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan urusan politik dan kenegaraan. Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran seperti itu adalah pemikiran yang keliru (paragolisme), memang benar bahwa kalimat siyasah tidak tercantum di dalam al-Qur'an akan tetapi banyak kata di dalam al-Qur'an yang mengandung makna siyasah.

Misalkan kata Al-Mulk (penguasa), sebagaimana firman Allah Swt menceritakan tentang penguasa yang terpuji: "Maka sungguh kami telah memberikan kepada keluarga Ibrahim kitab dan hikmah, dan kami berikan kepada mereka kerajaan yang besar." (Qs. An-Nisa: 54). Kemudian firman Allah Swt lainnya tentang penguasa yang dzolim: "Sesungguhnya Firaun menyombongkan dirinya di bumi dan membuat penduduknya terpecah-pecah. Dia menindas satu golongan dari mereka, menyembelih anak-anak laki dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan." (Qs. Al-Qashash: 4).

Contoh lain adalah kata At-Tamkin, sebagaimana firman Allah Swt: "Dan kami hendak memberikan karunia kepada mereka yang tertindas di bumi, kami jadikan mereka menjadi pemimpin-pemimpin dan kami jadikan mereka pewaris". (Qs. Al-Qashah: 5) Contoh kata lain yang bermakna siyasah adalah Al-Istikhlaf (menjadikan khalifah), firman Allah Swt: "Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh diantara kamu, sungguh Dia akan menjadikan mereka pimpinan di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan pemimpin orang-orang sebelum mereka, dan sungguh dia meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhainya untuk mereka, dan sungguh Dia akan menggantikan ketakutan mereka dengan keamanan. Mereka menyembah-Ku, tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah demikian itu, maka mereka itulah orang orang yang fasik". (Qs. An-Nur: 55)
Contoh lain adalah kata Al-Hukmu, misalnya dalam firman Allah Swt: "Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menghukum diantara manusia hendaklah kamu menghukum dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (Qs. An-Nisa: 58) Dalam sabdanya, Rasulullah Saw sendiri menggunakan kata siyasah: “Adalah bani Israil mereka diurusi oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak akan nada nabi setelahku namun akan banyak para khalifah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Politik islam

Islam adalah agama yang kaffah, mencakup semua aspek urusan-urusan dunia dan akhirat, kedua hal tersebut menyatu dalam kesatuan yang solid, saling beriringan dan tidak mungkin untuk dipisahkan satu dengan yang lainnya.

Sebagai konsekuensinya politik dan agama menurut sumber dan dasarnya adalah dua sisi mata uang yang sama. Di atas tadi kita sudah memaparkan sedikit dampak-dampak kerusakan yang disebabkan oleh perpolitikan faham sekularisme. Mereka berkeyakinan dan dengan amat PDnya mengatakan; politik harus dipisahkan dengan agama, politik menjadi lemah dan hancur apabila dirasuki nilai-nilai agama. Dan sayangnya faham sekularisme ini tidak hanya dianut oleh orang orang non-Islam, melainkan sebagian umat Islam juga mengadopsinya.

Sebagaimana yang kita pahami bersama bahwa ajaran Islam tidak ingin adanya penyekatan antara agama dan politik. Islam ingin melaksakan politik selaras dengan tuntutan yang telah diberikan agama dan menggunakan negara menjadi salah satu wasilah untuk melayani Allah Swt. Islam menggunakan sarana kekuatan politik untuk mereformasi masyarakat dan tidak membiarkannya jatuh ke tempat terakhir yang paling buruk. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi yang dikehendaki oleh Islam tidak cukup dilaksanakan melalui khutbah dan taklim saja, akan tetapi kekuatan politikpun amat penting untuk ambil bagian.

Islam selalu menginginkan berlakunya syariat dan berdirinya khalifah islamiyah, namun bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud jikalau kita masih percaya bahwa politik harus dijauhkan dari agama? Dan bagaimana mungkin hal itu bisa terwujud kalau kita masih dipimpin oleh orang-orang yang membenci Islam, menindas Islam yang tidak menginginkan syariat Islam berlaku? Apakah kita tidak sadar, bahwa dengan kekuasaan kita bisa dengan mudah mengislah masyarakat, melakukan aktifitas islami tanpa ada kungkungan dari musuh-musuh islam? Alhamdulillah, kesadaran umat islam untuk berpolitik kian hari kini mulai tumbuh. Sebagai bukti dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam, seperti PKS, PPP, atau Masyumi. Dan yang lebih fenomenal adalah fatwa MUI tentang haramnya GOLPUT. Semua ini dilakukan dengan harapan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit masyarakat, menjalankan syariat islam; dan pada akhirnya berdirinya khilafah islamiyah yang kita cita citakan.

Pemilu 9 April 2009 sebentar lagi dilaksanakan, akan dikemanakan suara kita? Percayalah, satu suara Anda akan menentukan masa depan bangsa kita!

Selengkapnya......

Relevansi Sekularisme dan Phobia Politik


Oleh: Ekta Yudha Perdana

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total.” (S.Q. al-Baqarah: 208 )

Sering kita temukan, dari sekitar kita maupun teman kita; perbincangan tentang politik. Ada yang mengatakan kita tak perlu ikut politik, karena seperti itu adalah suatu sikap untuk melawan pemerintah, misalnya dengan demonstrasi dan itu adalah bentuk melawan pemerintah yang bukan dari Islam, maka haram hukumnya. Dan orang yang mengikuti pemilihan umum (PEMILU) musyrik bahkan kafir. Tak sedikit yang memberikan statemen itu, jangankan orang yang baru “bernafas“ bahkan ulama juga turut ambil andil! Yang biasa disebut dengan “klaim ideologi” merasa ideologinya yang paling benar. Jika keadaan seperti ini dibiarkan, khawatir akan terjadinya chaos (kekacauan) di dalam diri umat Islam sendiri. Dan adanya polarisasi (pengaruh) dalam hubungan profan (sesama manusia ).

Tak susah kita temukan orang seperti ini. Yang selalunya memberikan stigma negatif kepada orang yang memperjuangkan perubahan atas prilaku pemerintah yang otoriter, yang merampas hak rakyat kecil, korupsi, dll. Dengan sebutan Khawarij, ketika masa awal Islam. Jadi mereka berasumsi bahwasanya orang yang melawan dan menentang pemerintah keji, adalah pekerjaan bathil. Naudzubillah.

Tak perlulah kita memandang jauh ke Indonesia. Kita lihat saja bagaimana Mesir -yang sekarang kita berada di dalamnya- ketika sebagian golongan berdemonstrasi untuk meminta pemerintah mendukung perjuangan tanah Palestina yang diakhiri dengan penangkapan para demonstran dan dimasukan ke bui.

Naifnya, sebagian yang lain hanya berkata: “Islam melarang demonstrasi, dan demontrasi haram hukumnya. Jadi bagus ditangkap.” Bayangkan, dalam kondisi yang sama, mereka sama-sama orang Mesir, tapi memiliki worldview (pandangan hidup) variatif. Yang satu memperjuangkan dan yang lain menghujat.

Kenapa ini terjadi? Kenapa mereka begitu takut terhadap politik? Sedangkan kita tahu, Islam menyuruh amar ma’ruf nahi munkar, apakah mereka tak mengenal hal yang fundamental (mendasar) ini. Tak mungkin. Bahwasanya kita tahu, Islam mengatur semua lini kehidupan, jika memisahkan antara politik dengan agama maka tak ayal jika disematkan dengan sebutan sekular (orang yang memisahkan agama dan politik). Bukankah dalam tulisan Samuel Hauntington dalam buku Clash of Civilization and the Remaking in the World yang monumental, bahwasanya Islam sangat ditakuti oleh Barat setelah runtuhnya komunis.

Kenapa? Karena Islam mengatur semua lini kehidupan, dan yang paling ditakuti –terkhusus- berkenaan dengan politik yang dianut dan mengakar di diri umat Islam.

Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana kita menganalisa dunia saat ini, melihat hal yang (waq’i) rill dan kongkrit. Jangan hanya berkutat dengan masalah khilafiyat (perbedaan) dan tarikhiyah (sejarah) saja. Kapan Islam maju, kalau di sana ada golongan yang hanya bisa memberikan stigma negatif dan negatif thinking (suudzhon) terhadap sesama Muslim? Bahkan ketika ada peperangan antara Hizbullah dan Israel, dalam golongan Islam sendiri ada yang mengatakan tak perlu Hizbullah itu dibantu; karena Syi’ah. Bagaimana dalam kondisi peperangan yang sengit itu, antara Kafir dan Musilm masih ada dalam umat Islam yang mendukung Yahudi. Naudzubillah

Kita sebagai mahasiswa perlu untuk bisa melihat keadaan dengan analisa dan data, jangan hanya taklid buta dengan ulama yang adanya pressure (tekanan) bahkan takut terhadap pemerintahnya. Berfikirlah! Kapan mau maju, jika sesama muslim masih ingin menghujat. Semoga masalah ini tidak menjadi permanent confrontation (konflik abadi) dan “gunung es”.

Agama dan Politik

Hasan al-Banna mendefinisikan politik dalam makna internalnya seperti mengatur roda pemerintahan, mengartikulasikan tugas-tugasnya, merinci hak dan kewajibannya, mengontrol dan membantu para petinggi agar ditaati jika berbuat baik, dan dilurusakan jika menyimpang.

Islam adalah serangkaian hukum yang bersifat operasional. Jadi agama bersifat implementasi, bukan hanya berputar masalah teoritis.
Sesungguhnya ada perbedaan yang sangat fundamental tentang masalah kepartaian dan politik. Keduanya mungkin bisa bersatu dan tak mustahil jika berseteru. Mungkin seseorang disebut politisi dengan segala makna politik yang terkandung di dalamnya, namun ia tidak berinteraksi dengan partai atau bahkan tidak ada kecendrungan ke sana.

Mungkin ada pula orang yang berpolitik praktis (terjun ke dalam kepartaian) namun ia sama sekali tidak mengerti tentang politik. Atau mungkin ada pula orang yang mengkolaborasikan antara keduanya sehingga ia adalah politisi yang berpolitik praktis atau berpolitik praktis yang politisi dalam proposi yang sama.

Orang-orang non-muslim mengetahui bagaimana tekad kuat umat Islam dalam memperjuangkan keislamannya; dengan mengerahkan pikarannya, harta bendanya bahkan jiwanya, untuk tegaknya Islam di alam semesta ini. Dan mereka juga berfikir Islam mengatur semua lini kehidupan, Islam masuk dalam konstitusi, undang-undang, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dll. Karenanya –mereka yang kebakaran jenggot- menganalisa dan senantiasa berusaha melancarkan konspirasi terhadap umat Islam dan mempersempit ruang lingkup subtansif yang ada di Islam yang bersifat operasional. Oleh karena itu kita harus lebih mewanti-wanti saudara kita yang masih apatis terhadap Islam dan skeptis (ragu) dalam langkah perjuangan.

Terakhir penulis di sini mengajak kepada semua para mahasiswa, untuk bisa melihat dengan jujur terhadap realita yang ada di sekitar kita dengan menggunakan hati nurani. Ketika melihat saudara kita dibantai di Palestina, di Libanon, Irak, ataupun Afghanistan; apa yang bisa kita kerjakan untuk memajukan umat Islam -yang saat ini menjadi peradaban terkubur oleh zaman, jika dibandingkan dengan peradaban lain di muka bumi ini. Mari kita rebut kembali kejayaan Islam yang pernah menjadi leader (pemimpin) di dunia.

Kita juga tahu, bagaimana keruntuhan kekhilafahan Ustmaniyah di Turki, juga tak terlepas dari makar politik Yahudi dan Eropa untuk menghilangkan kekuatan Islam. Dan akhirnya tercapailah itu semua. Maka jika mereka merampas dengan kekuatan konspirasi politiknya, apakah kita terus takut akan politik dan phobia jika mendengar kata demonstrasi, politik, bahkan partai?

Merebut kembali peradaban Islam dengan cara memupuk persatuan di antara umat Islam dan menyatukan persepsi yang sama untuk menuju khilafah Islamiyah. Jika kita malas atau bahkan tidak mau berpartisipasi dalam perjuangan di jalan dakwah, itu lebih baik. Bila dibandingkan dengan orang yang menghalangi roda dakwah, sebagai duri di jalan yang hanya bisa “menghujat” tanpa bisa berbuat. Semoga (Red: Khilafah Islamiyah) terwujud berkat pikiran, mobilisasi dan kontribusi kita terhadap agenda dakwah untuk memajukan umat yang sedang tertidur dengan indahnya mimpi. Amin.
Waallahu a’lam.

Selengkapnya......

Hindari Gapol (part 1)


Oleh : Ibnu Abdillah HF

Zaman-zaman telah berlalu melewati manusia-manusia heterogen. Di samping perubahan pola hidup, pola fikirpun berangsur mengalami pergeseran. Kemudian fenomena ini memperlihatkan beberapa jenis manusia yang ada saat itu. Akan kita temui jenis manusia pertama adalah manusia yang serakah serta pongah dan punya kekuatan akan menindas manusia lainya, membuat kerusakan, menebar kebencian. Mereka tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, sehingga merebut milik orang lain. Mereka jauh dari nilai-nilai agama, nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai keadilan. Kemudian manusia jenis kedua yang akan didapati adalah manusia yang tahu akan tugasnya di dunia ini. Mereka adalah golongan oposisi bagi sifat-sifat kejelekan yang ada pada manusia jenis awal tadi. Berangkat dari keyakinan dan kepercayaanya pada hakikat penciptaan mereka rela berjuang sampai mengalirkan peluh dan darah.

Satu hal yang ingin diangkat adalah tentang hubungan interaksi antara jenis manusia pertama dengan manusia kedua. Adalah hubungan mereka dalam kenegaraan yang sangat menarik untuk dibahas -diantara interaksi-interaksi kehidupan yang lainnya yaitu politik. Yang carut marutnya membuat enggan beberapa orang berkecimpung di dalamnya, atau bahkan antipati terhadapnya.

Arti Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Arti lain juga tentang politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Konstitusional dari akar kata konstitusi atau undang-undang dasar. Dengan demikian merujuk pada semua langkah politik yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di suatu negara.

Dalam memahami politik ada beberapa kunci yang perlu dipahami, diantaranya kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, serta partai politik. Satu hal lagi yang penting adalah teori politik yaitu kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara-negara di dunia antara lain: anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Demokrasi dan Sikap Kita

Orang-orang Islam mengenal istilah demokrasi sejak zaman transliterasi buku-buku Yunani di masa kepemimpinan Abbasiah, yang kemudian menjadi pembahasan khusus oleh ilmuwan di masa pertengahan, seperti ibnu Rusyd dan ibnu Sina ketika membahas karya-karya Aristoteles. Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al-Hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad Saw, termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan meluruskan penguasa, serta kebebasan berpendapat.

Pertanyaan yang seringkali muncul, bolehkah kita berdemokrasi? Atau dengan kata lain, bolehkah kita ikut berpolitik? Karena ada semacam alergi ketika mendengar kata politik. Politik itu kotor dan ideologi demokrasi tidak sesuai dengan Islam dalam hal pemegang kedaulatan. Anis Matta berkata dalam analisanya, “konsep demokrasi sekuler memberikan kedaulatan kepada rakyat.

Mereka mengatakan, kedaulatan ada di tangan rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara dalam konsep Islam, kedaulatan sepenuhnya di tangan Tuhan yang harus menjadi suara rakyat. Implementasinya, hukum dan demokrasi sekuler merupakan nota kesepekatan bersama yang diproduk melalui konstitusi, sementara dalam Islam hukum itu given dan adalah tugas konstitusi untuk merealisasikannya.

Kemudian Anis Matta melanjutkan perkataanya, “perbedaan itu sangat mendasar. Tapi, titik temu keduanya juga sangat mendasar. Yaitu, pada konsep partisipasi. Konsep ini memberikan posisi yang kuat kepada masyarakat terhadap negara dan mengunggulkan akal kolektif atas akal individu. Pemberdayaan masyarakat terhadap negara berbasis pada nilai-nilai kebebasan dan hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif berbasis pada upaya mengubah keragaman menjadi sumber kekuatan, kreativitas, dan produktivitas. Karena itu, demokrasi mempunyai implikasi yang kuat terhadap proses pemberdayaan masyarakat. Titik temu inilah yang kemudian mendasari sikap kita terhadap demokrasi. Bahwa seperti kata Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Majmu’at al-Rasail, walaupun demokrasi bukan system Islam, tapi inilah sistem politik modern yang lebih dekat dengan Islam.

Kemudian beliau melanjutkan secara hitoris: “kita lihat bahwa penjajahan Eropa atas dunia Islam, munculnya penguasa-penguasa tiran, dan pemerintahan militer represif setelah kemerdekaan telah mematikan potensi ummat secara keseluruhan. Dan negera-negera imperealis Barat secara sistematis membentuk dan mempertahankan pemerintahan militer di negara-negara Islam untuk tujuan tersebut. Maka, di atas wilayah geografi yang sangat luas, sumber daya alam yang sangat kaya, dan sumber daya manusia yang sangat banyak, kaum muslimin menjadi masyarakat yang paling miskin, paling bodoh, dan paling terbelakang di dunia. “Berangkat dari titik temu pada konsep partisipasi antara Islam dengan demokrasi dan persoalan historis dari potensi umat yang tidak terberdayakan, kita kemudian berkesimpulan seperti; demokrasi adalah pintu masuk bagi dakwah untuk memberdayakan ummat, kemudian melibatkannya dalam mengelola negara sendiri, lalu pada akhirnya memberinya mandat untuk memimpin kembali dirinya sendiri.”

Dukungan para Ulama

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain: Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Bani, Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad Rasyid Ridha, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

Kita perhatikan pendapat syaikh ‘Utsaimin dalam wawancaranya di majalah al-Furqon tentang hukum masuk ke dalam parlemen: “Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat -baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya. Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengusai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (Majalah al-Furqan - Kuwait hal. 18-19).

Seharusnya kita mahasiswa al-Azhar yang terkenal dengan prinsip mu’tadil-nya dalam memahami ajaran Islam lebih peka akan permasalahan ini. Berpandangan integral dan tidak parsial dalam memahami Islam adalah khas ulama-ulama kita. Pembatasan-pembatasan bahwa ulama tempatnya di mimbar saja adalah statement yang perlu dikaji ulang. Pernyataan itu adalah keinginan manusia jenis pertama untuk melegitimasi keserakahanya dan membiarkan umat Islam (manusia jenis kedua) terus miskin dan tertidur lelap. Seharusnya kita tanggap tentang politik ini, karena maslahat umat besar tersimpan di dalamnya. Hilangkan ketakutan-ketakutan terjebak dalam “arena politik”, karena sebenarnya semua itu kembali pada niat kita memasuki parlemen. Dan satu hal penting, jangan berjuang sendirian! Wallahu’alam bishawab.

Selengkapnya......
 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna