Hindari Gapol (part 1)


Oleh : Ibnu Abdillah HF

Zaman-zaman telah berlalu melewati manusia-manusia heterogen. Di samping perubahan pola hidup, pola fikirpun berangsur mengalami pergeseran. Kemudian fenomena ini memperlihatkan beberapa jenis manusia yang ada saat itu. Akan kita temui jenis manusia pertama adalah manusia yang serakah serta pongah dan punya kekuatan akan menindas manusia lainya, membuat kerusakan, menebar kebencian. Mereka tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, sehingga merebut milik orang lain. Mereka jauh dari nilai-nilai agama, nilai-nilai kemanusiaan, dan nilai-nilai keadilan. Kemudian manusia jenis kedua yang akan didapati adalah manusia yang tahu akan tugasnya di dunia ini. Mereka adalah golongan oposisi bagi sifat-sifat kejelekan yang ada pada manusia jenis awal tadi. Berangkat dari keyakinan dan kepercayaanya pada hakikat penciptaan mereka rela berjuang sampai mengalirkan peluh dan darah.

Satu hal yang ingin diangkat adalah tentang hubungan interaksi antara jenis manusia pertama dengan manusia kedua. Adalah hubungan mereka dalam kenegaraan yang sangat menarik untuk dibahas -diantara interaksi-interaksi kehidupan yang lainnya yaitu politik. Yang carut marutnya membuat enggan beberapa orang berkecimpung di dalamnya, atau bahkan antipati terhadapnya.

Arti Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Arti lain juga tentang politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Konstitusional dari akar kata konstitusi atau undang-undang dasar. Dengan demikian merujuk pada semua langkah politik yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di suatu negara.

Dalam memahami politik ada beberapa kunci yang perlu dipahami, diantaranya kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, serta partai politik. Satu hal lagi yang penting adalah teori politik yaitu kajian mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut serta segala konsekuensinya. Terdapat banyak sekali sistem politik yang dikembangkan oleh negara-negara di dunia antara lain: anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, kapitalisme, komunisme, liberalisme, libertarianisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki dsb.

Demokrasi dan Sikap Kita

Orang-orang Islam mengenal istilah demokrasi sejak zaman transliterasi buku-buku Yunani di masa kepemimpinan Abbasiah, yang kemudian menjadi pembahasan khusus oleh ilmuwan di masa pertengahan, seperti ibnu Rusyd dan ibnu Sina ketika membahas karya-karya Aristoteles. Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al-Hurriyah) yang merupakan pilar utama demokrasi yang diwarisi semenjak jaman Nabi Muhammad Saw, termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan meluruskan penguasa, serta kebebasan berpendapat.

Pertanyaan yang seringkali muncul, bolehkah kita berdemokrasi? Atau dengan kata lain, bolehkah kita ikut berpolitik? Karena ada semacam alergi ketika mendengar kata politik. Politik itu kotor dan ideologi demokrasi tidak sesuai dengan Islam dalam hal pemegang kedaulatan. Anis Matta berkata dalam analisanya, “konsep demokrasi sekuler memberikan kedaulatan kepada rakyat.

Mereka mengatakan, kedaulatan ada di tangan rakyat karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara dalam konsep Islam, kedaulatan sepenuhnya di tangan Tuhan yang harus menjadi suara rakyat. Implementasinya, hukum dan demokrasi sekuler merupakan nota kesepekatan bersama yang diproduk melalui konstitusi, sementara dalam Islam hukum itu given dan adalah tugas konstitusi untuk merealisasikannya.

Kemudian Anis Matta melanjutkan perkataanya, “perbedaan itu sangat mendasar. Tapi, titik temu keduanya juga sangat mendasar. Yaitu, pada konsep partisipasi. Konsep ini memberikan posisi yang kuat kepada masyarakat terhadap negara dan mengunggulkan akal kolektif atas akal individu. Pemberdayaan masyarakat terhadap negara berbasis pada nilai-nilai kebebasan dan hak asasi manusia, sedang keunggulan akal kolektif berbasis pada upaya mengubah keragaman menjadi sumber kekuatan, kreativitas, dan produktivitas. Karena itu, demokrasi mempunyai implikasi yang kuat terhadap proses pemberdayaan masyarakat. Titik temu inilah yang kemudian mendasari sikap kita terhadap demokrasi. Bahwa seperti kata Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Majmu’at al-Rasail, walaupun demokrasi bukan system Islam, tapi inilah sistem politik modern yang lebih dekat dengan Islam.

Kemudian beliau melanjutkan secara hitoris: “kita lihat bahwa penjajahan Eropa atas dunia Islam, munculnya penguasa-penguasa tiran, dan pemerintahan militer represif setelah kemerdekaan telah mematikan potensi ummat secara keseluruhan. Dan negera-negera imperealis Barat secara sistematis membentuk dan mempertahankan pemerintahan militer di negara-negara Islam untuk tujuan tersebut. Maka, di atas wilayah geografi yang sangat luas, sumber daya alam yang sangat kaya, dan sumber daya manusia yang sangat banyak, kaum muslimin menjadi masyarakat yang paling miskin, paling bodoh, dan paling terbelakang di dunia. “Berangkat dari titik temu pada konsep partisipasi antara Islam dengan demokrasi dan persoalan historis dari potensi umat yang tidak terberdayakan, kita kemudian berkesimpulan seperti; demokrasi adalah pintu masuk bagi dakwah untuk memberdayakan ummat, kemudian melibatkannya dalam mengelola negara sendiri, lalu pada akhirnya memberinya mandat untuk memimpin kembali dirinya sendiri.”

Dukungan para Ulama

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain: Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Bani, Syaikhul Islam ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad Rasyid Ridha, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.

Kita perhatikan pendapat syaikh ‘Utsaimin dalam wawancaranya di majalah al-Furqon tentang hukum masuk ke dalam parlemen: “Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat -baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala'. Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya. Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengusai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (Majalah al-Furqan - Kuwait hal. 18-19).

Seharusnya kita mahasiswa al-Azhar yang terkenal dengan prinsip mu’tadil-nya dalam memahami ajaran Islam lebih peka akan permasalahan ini. Berpandangan integral dan tidak parsial dalam memahami Islam adalah khas ulama-ulama kita. Pembatasan-pembatasan bahwa ulama tempatnya di mimbar saja adalah statement yang perlu dikaji ulang. Pernyataan itu adalah keinginan manusia jenis pertama untuk melegitimasi keserakahanya dan membiarkan umat Islam (manusia jenis kedua) terus miskin dan tertidur lelap. Seharusnya kita tanggap tentang politik ini, karena maslahat umat besar tersimpan di dalamnya. Hilangkan ketakutan-ketakutan terjebak dalam “arena politik”, karena sebenarnya semua itu kembali pada niat kita memasuki parlemen. Dan satu hal penting, jangan berjuang sendirian! Wallahu’alam bishawab.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna