Antara Pemuda dan Harapan



Oleh: Iqbal Muslich

Sejarah telah mencatat bahwa di setiap gerbong perubahan ada pemuda yang memegang peranan besar di dalamnya. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik pemuda yang meledak-ledak, tidak takut dengan ancaman. Tegas dan berani. Dan memang begitulah seharusnya. Pemuda harus mampu menjadi lokomotif perubahan di setiap jengkal tanah yang dijejaknya. Maka Allah SWT telah menceritakan bagaimana seorang pemuda menjadi asas pembinaan sebuah kerja. “Kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad) perihal mereka dengan benar. Sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan kami tambahkan mereka dengan hidayah petunjuk.” Sebagaimana hadits Rasulullah SAW juga banyak menyebut perihal pemuda: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Seandainya agama itu berada di bintang, niscaya salah seorang dari lelaki Persi atau pemuda-pemuda Persi akan pergi ke sana untuk mendapatkannya.”

Begitu pula jika dilihat dari rekam sejarah di seluruh penjuru bumi ini, maka akan kita dapati kisah-kisah heroik seputar peranan pemuda dalam kebangkitan dan revolusi di negaranya. Di Yunani kita akan melihat sebuah wadah perjuangan mahasiswa Yunani -National Union of Greek Student- yang berhadapan dengan rezim Papandreao melaksanakan serangkaian aksi menuntut kebebasan, keadilan sosial, demokarsi dan HAM. Aksi-aksi tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan jatuhnya rezim Papandreou walaupun meminta korban dari pihak mahasiswa. Di Perancis Union National des Etidiants de France ( UNEF ) –wadah perjuangan mahasiswa Perancis– memelopori pemogokan umum menyeluruh selama dua bulan pada Mei-Juli 1968. Aksi ini memicu “krisis Mei ” yang tercatat sebagai krisis paling hebat dalam sejarah Prancis sepanjang abad 20.

Di negara kita tercinta Indonesia, hal ini juga terjadi. Sejarah mencatat bagaimana gelombang reformasi yang dimotori oleh para mahasiswa berhasil menggulingkan pemerintahan yang telah bertahan selama 32 tahun. Di berbagai belahan dunia lain pun, kita akan melihat bahwa kaum muda mampu menggerakkan masyarakat untuk menuntut perubahan. Sudan, Aljazair, Korea Selatan, Turki, Bolivia, dan Kuba menjadi saksi bagaimana kisah-kisah heroik itu terjadi. Dalam sejarah dakwah Islam, pemudalah yang juga menjadi tumpuan utamanya. Kita tidak akan lupa dengan kisah Nabi Daud ketika mengalahkan Jalut, kisah Nabi Yusuf ketika menghadapi cobaan dari saudara-saudaranya sampai akhirnya memimpin Mesir, kisah Nabi Ibrahim yang dengan gagah berani menentang penyembahan berhala dan juga kisah Rasulullah SAW beserta sahabatnya membawa risalah Islam ini, memimpin bangsa Arab dari kebodohan menuju cahaya yang terang benderang.

Peran Pemuda Muslim

Jatuhnya kekhalifahan Turki Usmani pada tahun 1924 menjadi simbol titik terendah perjalanan kaum muslimin sebagai ummat. Pasca jatuhnya Turki Usmani tersebut, kita dihadapkan pada dua tantangan besar:
1. Dibutuhkan upaya keras untuk mengembalikan ruh persatuan umat karena negeri-negeri muslim tercerai berai dan tersekat oleh ideologi nasionalisme.
2. Dibutuhkan perjuangan menyeluruh di berbagai bidang untuk membebaskan ummat dari belenggu kolonialisme-imperialisme dengan segala macam pengaruhnya.

Kita dapati bahwa para penjajah berusaha untuk menanamkan pengaruhnya dan mencengkeram negara-negara Islam dengan kekuatan mereka untuk menghapus nilai-nilai Islam di kehidupan masyarakat. Upaya ini mereka lakukan di seluruh bidang: politik, undang-undang, budaya, sosial dan ekonomi. Maka sudah seharusnya hal ini menjadi perhatian para pemuda muslim. Sudah saatnya bagi kita untuk mengatakan “telah selesai waktu istirahat” -sebagaimana dulu Rasulullah mengatakannya ketika mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Hari-hari ke depan adalah hari-hari penuh perjuangan, penuh dengan darah dan keringat, berkorban demi tegaknya Islam di muka bumi ini. Setiap pemuda muslim harus benar-benar menghayati semboyan: Allah tujuan kami, Rasul teladan kami, al Quran petunjuk kami, jihad jalan kami, dan mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi, sebagai semboyan yang melandasi setiap gerak langkah kehidupannya.

Rahasia kesuksesan kebangkitan Islam adalah manakala syarat-syarat tegaknya Islam di kali pertamanya bisa dipenuhi kembali. Dan salah satu syarat asasinya adalah tersedianya para pemuda pejuang yang beriman kepada Allah SWT dan berjuang secara konsisten di bawah naungan petunjuk Allah SWT.

Medan Amal

Sebagaimana yang kita pahami bahwa pusat kekuasaan ada dalam pemerintahan, yang dari situ lahir kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan urusan masyarakat, maka dalam sasaran mobilitas vertikal yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak kader dakwah ke berbagai pusat kekuatan dan kekuasaan untuk mempengaruhi, merumuskan, menterjemahkan dan mengimplementasikan kebijakan publik agar sesuai dengan nilai-nilai dan syariat Islam. Dalam konteks sebuah negara, ada 3 sektor yang menjalankan fungsi dari seluruh bidang kehidupan:
1. Privat sektor: sektor kehidupan masyarakat yang semangatnya adalah “profit orientation” yang bekerja dalam mekanisme pasar. Motif yang dikembangkan adalah ekonomi. Nilai yang dianut adalah efisiensi dan produktifitas. Bagaimana untuk memenuhi hajat hidup dengan kemandirian ekonomi. Dan ini sunnatullah.
2. Publik sektor: sektor kehidupan yang semangatnya adalah “pelayanan” kepada masyarakat tanpa pandang bulu. Sektor publik dibentuk melalui kontrak sosial dimana masyarakat memberikan amanat kepada sekelompok orang –sebagai bagian dari mereka- untuk mengatur dan mengelola kebijakan publik. Juga sebagai juri penengah jika ada diskriminasi atau penindasan.
3. Third sectok: sektor ini adalah pelengkap dari dua sektor di atas. Semangat utamanya adalah tanggung jawab individu untuk mengusung tugas sosial mensejahterakan masyarakat. NGO (non Govermental Organization) adalah pengejawantahan dari sektor ini untuk menjadi komponen non-pemerintah yang mengambil peran komplementatif upaya penyejahteraan masyarakat. Sektor ini juga bisa berfungsi mengontrol dan mengawasi kinerja pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat.

Dalam ketiga sektor ini, haruslah seorang pemuda muslim memainkan peranannya. Mampu menjadi seseorang yang bermanfaat untuk masyarakat. Dari banyaknya pemuda-pemudi Islam kita harapkan akan lahir keluarga-keluarga Islam, yang kemudian menjadi masyarakat yang Islami sehingga dari situ akan lahir pemerintahan yang Islami dan pada akhirnya kita harapkan akan semakin banyaknya negara-negara Islam menuju tercapainya Islam sebagai ustadziyatul alam. Untuk merealisasikan tugas dan kewajibannya tersebut, menurut Abdullah Nashih Ulwan seorang pemuda muslim harus memiliki 5 syarat:
1. Iman yang kokoh yang tidak akan goyah.
2. Keikhlasan yang sebenarnya
3. Kekuatan tekad yang tidak mengenal rasa takut dan gentar
4. Kerja yang nyata
5. Pengorbanan yang tulus yang tidak mengharapkan apa-apa selain kemenangan atau syahadah.

Dengan 5 hal tersebut, Insya Allah kebangkitan Islam yang pemuda akan menjadi tulang punggung pergerakannya akan segera terwujud. Saat ini, umat menantikan pemuda yang akan mengembalikan bangunannya kembali!!

Selengkapnya......

Masyarakat Madani


Oleh: Heru Mahbarullah
Menurut konteknya, kata madinah memang diartikan sebagai kota. Namun pada dasarnya, perkataan itu mengandung makna peradaban. Dalam bahasa Arab, peradaban memang sering dinyatakan dalam madaniyah atau tamaddun, selain dalam kata hadharah. Sebagaimana yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. bersama semua penduduk Madinah meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Pada saat itulah untuk pertama kalinya umat manusia diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan. Dan saat itu pula, nabi Muhammad Saw. dan kaum muslimin diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban sebagai bentuk pembelaan terhadap masyarakat madani.

Contoh di atas merupakan sikap antusias dan pembuktian yang kongkrit dalam membentuk sebuah masyarakat madani. Dengan demikian, adalah masyarakat yang berbudi luhur dan berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, civil society. Masyarakat madani yang dibangun nabi itu, oleh seorang sosiologi agama terkemuka dari Barat disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi Muhammad Saw. wafat tidak bertahan lama. Karenanya, Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang dirintis Nabi Muhammad Saw.

Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang salih dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri“ (QS Fushshilat: 33).

Masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Allah Swt, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS Al-Nisa:58)

Dan Nabi telah memberi teladan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Allah itu. Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia: “Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya.” Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, nabi tidak pernah membedakan antara golongan atau suku tertentu, ataupun keluarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa masa lalu adalah karena jika satu golongan tertentu melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika golongan lain melakukannya pasti dihukum. Karena itu nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan aturan yang berlaku.

Oleh sebab itu, itikad pribadi saja tidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa amal saleh, yang secara ta’rif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Allah Swt, sebab Allah Swt. adalah Maha Kaya, yang tidak membutuhkan apapun dari manusia. Siapapun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah yang akan memetik dan merasakan buah manis dari kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang akan menanggung akibat kerugian dan kejahatannya. Sebagaimana dalam wahyu-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya).” (QS. Fushilat:46) “Barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.” (QS. Al-jatsiyah:15)

Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani adalah terbangunnya fenomena seperti demokratisasi, partisipasi sosial, atau supremasi (keunggulan) hukum. Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Bersatunya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif (sendiri) ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi sukarelawan mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim fanatisme.
6. Meluasnya kesetiaan dan kepercayaan sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif, dll.

Demikian halnya yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat di sekitar kita, masih banyak upaya yang harus direalisasikan demi terciptanya sebuah masyarakat madani seperti dulu kala ketika masa-masa Rosulullah Saw. Yang tentunya semua itu tidaklah semudah membalikan kedua telapak tangan atau mengedipkan kedua kelopak mata kita, akan tetapi sangat memerlukan supply extra, baik datangnya dari dalam pribadi masing-masing maupun dari luar, seperti yang dicontohkan oleh suri tauladan kita nabi Muhammad Saw. sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Ini semuanya bukanlah PR atau tugas bagi masing-masing individu dalam pembentukan masyarakat madani melainkan ditujukan bagi seluruh aliansi masyarakat termasuk di dalamnya kita sebagai generation of change yang akan meneruskan dan membawa tongkat estafet perjuangan ini sampai finish. Kini saatnya untuk mulai menancapkan gas dan mengusung tinggi misi dan visi perjuangan, tanpa harus menunggu-nunggu lagi waktu dan moment tertentu, sebagaimana yang telah diajarkan nabi Muhammad Saw, diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah kedua kaki manusia akan tergelincir kelak di hari kiamat, sampai ditanyakan empat aspek: tentang umurnya, untuk apa sajakah dia dihabiskannya, tentang masa mudanya, dalam apa sajakah masa muda itu dihancurkan, tentang hartanya, dari mana dia didapat dan dibelanjakan untuk apa, dan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dengannya” (HR. Al Bazzar dan Thabrani dengan sanad yang shahih dan naskah ini adalah miliknya).

Begitupun dengan Ibn umar ra. sahabat nabi dengan perangai yang taat dalam mengikuti dan menjalankan ajaran nabi Muhammad Saw, beliau telah menasehatkan kepada kita agar tidak menuggu-nunggu waktu: "Dan adalah Ibn Umar ra. telah berkata: "Jika engkau berada di waktu petang, maka janganlah engkau menunggu pagi. Dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah engkau menunggu petang. Gunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakit. Dan gunakanlah waktu hidupmu sebelum datang waktu mati."

So, kapan lagi? Apa kita Cuma akan menunggu waktu terus? Akankah tugas perjuangan ini dilempar balikan pada generasi selanjutnya? Atau, dibiarkan saja, biar mengalir apa adanya seperti air yang hanya mengikuti dan mengekor pada arah arus sungai tanpa memiliki prinsip, misi dan visi hidup? Semua itu jawabannya ada dalam diri kita sendiri. Wallahu a’lam bisshowab.

Selengkapnya......

Memaknai Kecerdasan


Oleh: Ahmad Adi Andriana

“Apa tujuan ke Mesir?” Belajar. Belajar dalam ruang lingkup akademis. Sebuah jargon lama dan nasihat berulang dari mulut senior. Semakin lama itu terulang, semakin mengakar dan mendarah daging tersimpan di alam bawah sadar. Menjadi kata terucap tanpa datang dari lubuk kesadaran penuh penghayatan. Kemudian timbul klasifikasi orang dari jargon itu; bodoh dan pintar, berbakat tidak berbakat, masa depan cerah atau masa depan suram. Tapi bukankah itu menyesatkan. Keliru dan membawa pada dunia kering dan penuh ketidakpastian. Bertujuan baik tapi bertentangan dengan penelitian. Membatasi belajar dengan hanya satu potensi kecerdasan. Dan memelihara penjajahan nilai diri berdasar kasta dari tingkat kecepatan memahami kata. Dan kiranya lebih tepat “apa tujuan ke Mesir?” Berproses. Yah untuk berproses.

Itu menyesatkan karena penelitian modern membagi kecerdasan kepada tujuh bentuk; linguistik, kinestetik, spasial, logika matematis, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Kemudian menilai serampangan dengan meratakan secara paksa potensi setiap orang, sehingga membunuh hasrat atau dengan arti lain memadamkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, semangat menyala dan mata yang bersinar: membuatnya tidak mampu berkontribusi karena kehilangan kreativitas dan produktivitas. Karena hasrat adalah misteri di balik keyakinan dan harapan yang menjadi pondasi awal meledaknya kreatifitas dan produktifitas. Dan sebuah klasifikasi buta berdasar tradisi. Bukan berdasar potensi.

Sebenarnya semua itu terbentuk oleh kurikulum pendidikan yang hanya memenuhi satu kecenderungan; kecerdasan logika matematis. Dan Itu tetap terpelihara oleh persepsi tanpa sadar. Kemudian menjadi warisan dari generasi ke generasi berikutnya. Dan akhirnya penyamarataan membabi buta. Seperti sebuah ilustrasi kisah menarik berikut:
Alkisah, binatang-binatang memutuskan bahwa mereka harus berbuat sesuatu yang heroik untuk mengatasi masalah ‘dunia baru’. Merekapun mendirikan sebuah sekolah. Mereka menggunakan kurikulum kegiatan yang terdiri atas berlari, memanjat, berenang, dan terbang. Untuk memudahkan administrasi, semua binatang mengambil semua mata pelajaran.

Bebek ahli sekali dalam berenang, lebih baik sebenarnya dibandingkan gurunya, dan memperoleh hasil yang bagus sekali dalam pelajaran terbang, tetapi ia sangat buruk dalam berlari. Karena lambat dalam berlari, ia harus tinggal sesudah sekolah usai dan juga melepaskan pelajaran berenang untuk berlatih lari. Ini diteruskan hingga kakinya yang berselaput pecah-pecah dan kemampuan renangnya menjadi sedang-sedang saja. Tetapi kemampuan yang sedang-sedang saja dapat diterima di sekolah, jadi tak seorangpun khawatir soal itu selain si bebek.

Kelinci memulai sebagai murid terpandai di kelas dalam pelajaran berlari, tetapi mengalami gangguan mental karena harus belajar berenang.

Tupai ahli sekali dalam memanjat sebelum ia frustasi dalam pelajaran terbang karena gurunya menyuruhnya memulai dari tanah ke atas dan bukan dari puncak pohon ke bawah. Ia juga menderita kejang-kejang pada kaki dan tanganya karena latihan yang berlebihan dan ia mendapat C untuk memanjat dan D untuk berlari.

Elang adalah anak yang suka menimbulkan masalah dan harus didisiplinkan dengan keras. Dalam pelajaran memanjat ia mengalahkan semua yang lain menuju puncak pohon, tetapi ia berkeras menggunakan caranya sendiri untuk tiba di sana.

Pada akhir tahun ajaran, seekor belut abnormal yang dapat berenang dengan luar biasa dan juga dapat berlari, memanjat, dan terbang sedikit mendapat nilai rata-rata tertinggi dan mengucapkan pidato perpisahan.

Anjing padang rumput tidak diterima di sekolah dan menentang pungutan pajak karena tata usaha sekolah tidak mau menambahkan pelajaran menggali dan bersembunyi pada kurikulum. Mereka menitipkan anak-anak mereka pada luak dan belakangan bergabung dengan tikus tanah dan marmut tanah untuk memulai sekolah swasta yang berhasil.

Maka sebenarnya tidak ada klasifikasi, kasta, strata dan perbedaan. Semua sama, memiliki potensi kecerdasan masing-masing yang beragam dan bervariasi. Tidak ada tempat untuk kata bodoh dan pintar, hanya ada kata rajin dan malas. Itu saja. “Itulah mengapa” kata Anis Matta dalam sebuah ceramahnya, ”Umar bin Khottob di dalam sejarah tidak pernah diperintahkan sekalipun untuk memimpin sebuah peperangan, yang diperintahkan justru Kholid bin Walid, itu bukan karena Umar tidak bisa memimpin peperangan tetapi karena ia mampu melakukan lebih daripada itu. Ia mampu memimpin kekhilafahan. Dan Kholid bin Walid belum tentu sukses jika diminta memimpin negara, walaupun juga apakah Umar bisa sesukses Kholid bin Walid jika memimpin pasukan yang sama dan menghadapi momentum peperangan yang sama sulitnya”.

Ibnu al Qayyim misalnya, membuat daftar ilmuwan-ilmuwan muslim setelah Rasul wafat. Berjumlah seratus sampai seratus sepuluh orang. Kemudian ia mengklasifikasikanya menjadi tiga tingkatan. Dan dari tujuh ilmuwan terbesar di kalangan sahabat nama Abu Bakar tidak tercantum di dalamnya, tapi sejarah mencatatnya sebagai khalifah pertama.

Paradigma ini mungkin terkesan idealis. Tapi bukankah Allah telah memberikan ruang untuk adanya perubahan dengan firman-Nya, “sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Dan mari masih ada waktu, peluang dan kesempatan untuk mengembangkan bakat kecerdasan bervariasi itu. Melepas semua stereotif yang selama ini menyuburkan keterbatasan dan menggantinya dengan sebuah optimisme, bahwa kita ada bukan untuk menjadi orang lain tapi berkontribusi berdasar kapasitas kita masing masing yang variatif. Masa lalu biarlah berlalu, ia telah menjadi abu bersama waktu. Semoga dengan ini terbentuk sebuah tatanan sistem saling menghargai dan menghormati.

Selengkapnya......

Cahaya Islam


Oleh: Anas Margono

Banyak buku berjilid-jilid, karangan penulis dari berbagai negara, mendongengkan kemajuan Islam masa silam. Menggambarkan kesejahteraan rakyat sebuah kerajaan atau negara yang dipimpin oleh pemimpin yang memilki kwalitas ketakwaan kepada Allah yang luar biasa. Memimpin rakyatnya penuh dengan amanah dan tanggungjawab, adil dalam segala hal, bijak dalam mengambil keputusan. Karena memahami kedudukan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Sehingga rakyat benar-benar puas dan bangga mempunyai seorang pemimpin. Kesejahteraan yang mencapai pada puncaknya, sehingga tidak ada seorangpun yang mengeluhkan sesuatu kepada pemimpinnya, karena ketentraman yang dirasakan. Nabi pernah berkata kepada `Adi bin Hatim -yang ketika itu dia belum memeluk Islam, “wahai `Adi kelak di kemudian hari engkau akan melihat wanita datang seorang diri dari Hiroh (nama tempat di negri Syam) menuju Makah tanpa ada sedikitpun rasa takut akan dirinya”. Kemudian nabi melanjutkan, “itu adalah masa ketika Islam mencapai kejayaannya, ketika semua orang mengucapkan satu kalimat yang sama laa ilaha illallah”. Pada saat itu tidak ada sedikitpun kehawatiran seseorang akan hartanya, bahkan jiwanya.

Yang jadi permasalahan adalah dimanakah Islam itu saat ini? Bukankah jumlah umat Islam begitu banyak, sepertiga penduduk bumi adalah umat Islam. Namun mengapa keadilan tidak terlihat? Mengapa kesejahteraan hidup tidak kunjung datang? Tidakkah mereka bersatu untuk mengembalikan kejayaan Islam yang artinya adalah kemakmuran bumi ini? Atau umat ini rela menyaksikan ketidakadilan yang terus merajalela, sejak kekuasan terlepas dari umat Islam? Benarlah apa yang dikatakan nabi bahwa jumlah umat Islam nanti akan sangat banyak tetapi tidak memiliki kwalitas, mereka layaknya buih di atas lautan, yang bisa terombang-ambing, mereka tunduk terhadap arus ombak kekuasaan yang menggerakannya. Begitulah umat Islam sekarang, bukan lagi batu karang yang tegar dengan deburan ombak.

Bukan saatnya lagi mencari kambing hitam keterpurukan umat Islam. Karena hal itu adalah ma`ruf bagi sebagian besar umat Islam. Sejak jauh-jauh hari nabi Muhammad telah mengabarkan sebabnya, beliau mengatakan dalam kelanjutan sebuah hadits bahwa yang menjadikan umat Islam seperti itu adalah penyakit wahn sudah melekat pada hati umat Islam; cinta dunia dan takut mati. Dalam hadits lain yang diriwatkan Abu Huroiroh beliau berkata, nabi Muhammad SAW bersabda: “Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap kalian setelah sepeninggalanku nanti, akan tetapi yang aku khawatirkan adalah kalian berlomba memperbanyak harta”. Dalam riwayat lain “..yang aku takutkan adalah ketika dipermudahkannya dunia bagimu seperti dipermudahkan bagi umat-umat terdahulu”.

Inilah yang menjadi sumber keterpurukan Islam. Karena jiwa-jiwa pemeluknya terkotori oleh fitnah dunia, fitnah yang sangat ditakuti dan diwaspadai oleh Umar bin Khottob, sehingga beliau menghentikan sejenak program besar Abu Bakar; memperluas wilayah Islam atau futuhat islamiyah yang telah lama dicanangkan, guna menguatkan sisi keimanan agar tidak tergiur oleh segudang ghonimah yang diperoleh.

Kondisi ini benar-benar bertolak belakang dengan umat Islam silam. Yang mampu mendirikan daulah islamiyah hanya dalam rentan waktu yang sangat singkat. Daulah Islam yang dibangun nabi mulai dari nol, dirintis mulai dari tahun pertama hijrahnya beliau ke Madinah, kemudian berhasil membuka kota Makah, yang saat itu dikuasai oleh kaum musyrikin, dilanjutkan dengan futuhat islamiyah yang dilakukan Abu Bakar untuk membuka kota Romawi. Lima bulan setelahnya beliau mengirim Kholid bin Walid untuk membuka kota Hurmuz sebagai gerbang pertama untuk membuka Daulah Farisiyah. Dilanjutkan oleh Umar pada masa kekhalifahannya, dan mencapai puncaknya dengan jatuhnya Daulah Farisiyah tahun 26 H pada zaman Utsman bin Affan.

Daulah Islam, sebuah daulah kecil di jazirah Arab yang dibangun dalam kurun waktu yang sangat-sangat singkat tetapi mampu mengalahkan Daulah Farisiyah, daulah yang menguasai beberapa negara di dalamnya; dari negara Iraq di sebelah baratnya hingga ke timur sampai kepada China; daulah yang sudah berabad-abad lamanya berdiri, hingga mempinyai kekausaan dan pengaruh yang sangat besar. Seperti inilah sesungguhnya umat Islam. Bukan permasalahan ketika musuh-musuh Islam mempunyai kekuatan lebih besar, mempunyai tentara yang jauh lebih banyak, karena terbukti prajurit Islam yang berjumlah 12.000 mampu mengalahkan Daulah Farisiyah yang jumlah tentaranya jutaan.

Begitu juga saat ini, para mujahidin Gaza yang sedikit, dengan persenjataan seadanya mampu membuat tentara Amerika dan Israel strees meskipun persenjataan mereka jauh lebih canggih.

Setidaknya ada dua hal yang menjadikan umat Islam silam mampu melakukan hal yang sangat luar biasa. Pertama: Pondasi kepribadian kaum muslimin yang dibangun rosul di periode Makah. Ini adalah satu point yang sangat penting dan berpengaruh ketika periode pembangunan daulah Islam di Madinah, namun kebanyakan orang melupakan hal ini. Kebanyakan orang menemukan penyebab kebangkitan Islam di Madinah lantaran langkah cerdas yang dilakukan rosul ketika tiba di Madinah; mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshor, membangun masjid -yang menjadi pusat kegiatan muslimin dalam segala bidang, membangun pasar -yang menjadi pusat ekonomi kaum muslimin, dan membuat perjanjian dengan Yahudi Madinah. Itu semua tidak salah, namun hal yang menjadikan kaum Muhajirin dan Anshor dengan mudah menjalani faktor-faktor tersebut adalah karena kwalitas kepribadian mereka yang dibentuk dengan begitu kokoh oleh rosul. Kepribadian yang berdasarkan keimanan yang suci, yang ditanamkan begitu dalam menancap di hati mereka, yang tak tergoyahkan oleh apapun. Keimanan yang melahirkan kepercayaan terhadap janji rosul bahwa Islam akan berjaya kelak, dan keimanan yang melahirkan semangat berjuang dan berkorban yang tak tertandingi.

Kesempurnaan pribadi muslim yang dibangun rosul ini yang menjadi kunci awal keberhasilan pembangunan daulah Islam, sehingga memudahkan rosul untuk melangkah ke langkah berikutnya. Memudahkan rosul dalam mempersaudarakan Muhajirin dan Anshor yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa, bahkan belum mengenal sebelumnya. Dan memudahkan langkah-langkah selanjutnya dalam membangun daulah Islam, yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Umat islam saat ini, tidak berbeda jauh dengan umat Islam silam, jika pemimpin dan setiap individunya masih berpegang teguh dengan al Quran dan sunah, memahaminya dengan pemahaman yang benar, kemudian tercermin pada kepribadiannya selaku muslim, niscaya langkah mengembalikan kejayaan Islam akan menjadi lebih cepat. Tidak akan ada lagi perpecahan, tidak akan ada lagi perselisihan sistem perundang-undangan organisasi atau negara, karena dengan ini, umat Islam akan dengan sendirinya mampu melihat mana
yang lebih baik bagi dirinya.

Hal kedua: Yang sebenarnya ini juga merupakan implikasi dari hal yang pertama, tak lama setelah kedatangan rosul di Madinah, rosul langsung diresmikan sebagai khalifah daulah Islam pertama. Yang artinya kekuasaan kota Madinah waktu itu berada dalam naungan Islam. Kondisi ini benar-benar membuat Islam mampu berkembang dengan pesat, kekuatan Islam semakin besar, dan dengan mudah menerapkan syariat Islam. Begitu juga pada masa-masa setelah nabi, saat kekuasaan masih dipegang oleh pemimpin muslim yang berkepribadian mulia. Kesejahteraan masih merata dirasakan rakyat, syiar-syiar Islam masih terlihat akrab bersama masyarkat, sementara kemaksiatan akan semakin jauh tak terlihat.

Benar apa yang dikatakan seorang ulama, “sesungguhnya perbaikan pemerintahan adalah gerbang hakiki untuk perbaikan-perbaikan yang lain”. Karena dengan itu, penentang kemaksiatan akan semakin kuat, dan kema`rufan akan terlihat dimana-mana. Belum lagi jika para pemegang kekuasaannya adalah orang-orang yang selalu merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi dan meminta pertanggungjawaban, niscaya cahaya Islam akan kembali bersinar.

Selengkapnya......
 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna