Masyarakat Madani


Oleh: Heru Mahbarullah
Menurut konteknya, kata madinah memang diartikan sebagai kota. Namun pada dasarnya, perkataan itu mengandung makna peradaban. Dalam bahasa Arab, peradaban memang sering dinyatakan dalam madaniyah atau tamaddun, selain dalam kata hadharah. Sebagaimana yang dilakukan oleh nabi Muhammad Saw. bersama semua penduduk Madinah meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Pada saat itulah untuk pertama kalinya umat manusia diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan politik, khususnya pertahanan. Dan saat itu pula, nabi Muhammad Saw. dan kaum muslimin diizinkan mengangkat senjata, perang membela diri dan menghadapi musuh-musuh peradaban sebagai bentuk pembelaan terhadap masyarakat madani.

Contoh di atas merupakan sikap antusias dan pembuktian yang kongkrit dalam membentuk sebuah masyarakat madani. Dengan demikian, adalah masyarakat yang berbudi luhur dan berakhlak mulia itulah, masyarakat berperadaban, masyarakat madani, civil society. Masyarakat madani yang dibangun nabi itu, oleh seorang sosiologi agama terkemuka dari Barat disebut sebagai masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern, bahkan terlalu modern, sehingga setelah nabi Muhammad Saw. wafat tidak bertahan lama. Karenanya, Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti yang dirintis Nabi Muhammad Saw.

Berpangkal dari pandangan hidup bersemangat ketuhanan dengan konsekuensi tindakan kebaikan kepada sesama manusia, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang salih dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri“ (QS Fushshilat: 33).

Masyarakat madani tegak berdiri di atas landasan keadilan, yang bersendikan keteguhan berpegang kepada hukum. Menegakkan hukum adalah amanat Allah Swt, yang diperintahkan untuk dilaksanakan kepada yang berhak: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS Al-Nisa:58)

Dan Nabi telah memberi teladan kepada kita. Secara amat setia beliau laksanakan perintah Allah itu. Al-Qur'an juga menegaskan bahwa tugas suci semua nabi ialah menegakkan keadilan di antara manusia: “Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya.” Atas pertimbangan ajaran itulah, dan dalam rangka menegakkan masyarakat madani, nabi tidak pernah membedakan antara golongan atau suku tertentu, ataupun keluarga sendiri. Beliau pernah menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa masa lalu adalah karena jika satu golongan tertentu melakukan kejahatan dibiarkan, tetapi jika golongan lain melakukannya pasti dihukum. Karena itu nabi juga menegaskan, seandainya Fatimah pun, puteri kesayangan beliau, melakukan kejahatan, maka beliau akan menghukumnya sesuai ketentuan aturan yang berlaku.

Oleh sebab itu, itikad pribadi saja tidak cukup untuk mewujudkan masyarakat berperadaban. Itikad baik yang merupakan buah keimanan itu harus diterjemahkan menjadi tindakan kebaikan yang nyata dalam masyarakat, berupa amal saleh, yang secara ta’rif adalah tindakan membawa kebaikan untuk sesama manusia. Tindakan kebaikan bukanlah untuk kepentingan Allah Swt, sebab Allah Swt. adalah Maha Kaya, yang tidak membutuhkan apapun dari manusia. Siapapun yang melakukan kebaikan, maka dia sendirilah yang akan memetik dan merasakan buah manis dari kebaikan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya, siapapun yang melakukan kejahatan, maka dia sendiri yang akan menanggung akibat kerugian dan kejahatannya. Sebagaimana dalam wahyu-Nya: “Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya).” (QS. Fushilat:46) “Barang siapa yang mengerjakan amal yang shaleh maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barang siapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.” (QS. Al-jatsiyah:15)

Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani adalah terbangunnya fenomena seperti demokratisasi, partisipasi sosial, atau supremasi (keunggulan) hukum. Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Bersatunya individu-individu dan kelompok-kelompok eksklusif (sendiri) ke dalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi sukarelawan mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rezim-rezim fanatisme.
6. Meluasnya kesetiaan dan kepercayaan sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif, dll.

Demikian halnya yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat di sekitar kita, masih banyak upaya yang harus direalisasikan demi terciptanya sebuah masyarakat madani seperti dulu kala ketika masa-masa Rosulullah Saw. Yang tentunya semua itu tidaklah semudah membalikan kedua telapak tangan atau mengedipkan kedua kelopak mata kita, akan tetapi sangat memerlukan supply extra, baik datangnya dari dalam pribadi masing-masing maupun dari luar, seperti yang dicontohkan oleh suri tauladan kita nabi Muhammad Saw. sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Ini semuanya bukanlah PR atau tugas bagi masing-masing individu dalam pembentukan masyarakat madani melainkan ditujukan bagi seluruh aliansi masyarakat termasuk di dalamnya kita sebagai generation of change yang akan meneruskan dan membawa tongkat estafet perjuangan ini sampai finish. Kini saatnya untuk mulai menancapkan gas dan mengusung tinggi misi dan visi perjuangan, tanpa harus menunggu-nunggu lagi waktu dan moment tertentu, sebagaimana yang telah diajarkan nabi Muhammad Saw, diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah kedua kaki manusia akan tergelincir kelak di hari kiamat, sampai ditanyakan empat aspek: tentang umurnya, untuk apa sajakah dia dihabiskannya, tentang masa mudanya, dalam apa sajakah masa muda itu dihancurkan, tentang hartanya, dari mana dia didapat dan dibelanjakan untuk apa, dan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dengannya” (HR. Al Bazzar dan Thabrani dengan sanad yang shahih dan naskah ini adalah miliknya).

Begitupun dengan Ibn umar ra. sahabat nabi dengan perangai yang taat dalam mengikuti dan menjalankan ajaran nabi Muhammad Saw, beliau telah menasehatkan kepada kita agar tidak menuggu-nunggu waktu: "Dan adalah Ibn Umar ra. telah berkata: "Jika engkau berada di waktu petang, maka janganlah engkau menunggu pagi. Dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah engkau menunggu petang. Gunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakit. Dan gunakanlah waktu hidupmu sebelum datang waktu mati."

So, kapan lagi? Apa kita Cuma akan menunggu waktu terus? Akankah tugas perjuangan ini dilempar balikan pada generasi selanjutnya? Atau, dibiarkan saja, biar mengalir apa adanya seperti air yang hanya mengikuti dan mengekor pada arah arus sungai tanpa memiliki prinsip, misi dan visi hidup? Semua itu jawabannya ada dalam diri kita sendiri. Wallahu a’lam bisshowab.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna