Memaknai Kecerdasan


Oleh: Ahmad Adi Andriana

“Apa tujuan ke Mesir?” Belajar. Belajar dalam ruang lingkup akademis. Sebuah jargon lama dan nasihat berulang dari mulut senior. Semakin lama itu terulang, semakin mengakar dan mendarah daging tersimpan di alam bawah sadar. Menjadi kata terucap tanpa datang dari lubuk kesadaran penuh penghayatan. Kemudian timbul klasifikasi orang dari jargon itu; bodoh dan pintar, berbakat tidak berbakat, masa depan cerah atau masa depan suram. Tapi bukankah itu menyesatkan. Keliru dan membawa pada dunia kering dan penuh ketidakpastian. Bertujuan baik tapi bertentangan dengan penelitian. Membatasi belajar dengan hanya satu potensi kecerdasan. Dan memelihara penjajahan nilai diri berdasar kasta dari tingkat kecepatan memahami kata. Dan kiranya lebih tepat “apa tujuan ke Mesir?” Berproses. Yah untuk berproses.

Itu menyesatkan karena penelitian modern membagi kecerdasan kepada tujuh bentuk; linguistik, kinestetik, spasial, logika matematis, musik, interpersonal, dan intrapersonal. Kemudian menilai serampangan dengan meratakan secara paksa potensi setiap orang, sehingga membunuh hasrat atau dengan arti lain memadamkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, semangat menyala dan mata yang bersinar: membuatnya tidak mampu berkontribusi karena kehilangan kreativitas dan produktivitas. Karena hasrat adalah misteri di balik keyakinan dan harapan yang menjadi pondasi awal meledaknya kreatifitas dan produktifitas. Dan sebuah klasifikasi buta berdasar tradisi. Bukan berdasar potensi.

Sebenarnya semua itu terbentuk oleh kurikulum pendidikan yang hanya memenuhi satu kecenderungan; kecerdasan logika matematis. Dan Itu tetap terpelihara oleh persepsi tanpa sadar. Kemudian menjadi warisan dari generasi ke generasi berikutnya. Dan akhirnya penyamarataan membabi buta. Seperti sebuah ilustrasi kisah menarik berikut:
Alkisah, binatang-binatang memutuskan bahwa mereka harus berbuat sesuatu yang heroik untuk mengatasi masalah ‘dunia baru’. Merekapun mendirikan sebuah sekolah. Mereka menggunakan kurikulum kegiatan yang terdiri atas berlari, memanjat, berenang, dan terbang. Untuk memudahkan administrasi, semua binatang mengambil semua mata pelajaran.

Bebek ahli sekali dalam berenang, lebih baik sebenarnya dibandingkan gurunya, dan memperoleh hasil yang bagus sekali dalam pelajaran terbang, tetapi ia sangat buruk dalam berlari. Karena lambat dalam berlari, ia harus tinggal sesudah sekolah usai dan juga melepaskan pelajaran berenang untuk berlatih lari. Ini diteruskan hingga kakinya yang berselaput pecah-pecah dan kemampuan renangnya menjadi sedang-sedang saja. Tetapi kemampuan yang sedang-sedang saja dapat diterima di sekolah, jadi tak seorangpun khawatir soal itu selain si bebek.

Kelinci memulai sebagai murid terpandai di kelas dalam pelajaran berlari, tetapi mengalami gangguan mental karena harus belajar berenang.

Tupai ahli sekali dalam memanjat sebelum ia frustasi dalam pelajaran terbang karena gurunya menyuruhnya memulai dari tanah ke atas dan bukan dari puncak pohon ke bawah. Ia juga menderita kejang-kejang pada kaki dan tanganya karena latihan yang berlebihan dan ia mendapat C untuk memanjat dan D untuk berlari.

Elang adalah anak yang suka menimbulkan masalah dan harus didisiplinkan dengan keras. Dalam pelajaran memanjat ia mengalahkan semua yang lain menuju puncak pohon, tetapi ia berkeras menggunakan caranya sendiri untuk tiba di sana.

Pada akhir tahun ajaran, seekor belut abnormal yang dapat berenang dengan luar biasa dan juga dapat berlari, memanjat, dan terbang sedikit mendapat nilai rata-rata tertinggi dan mengucapkan pidato perpisahan.

Anjing padang rumput tidak diterima di sekolah dan menentang pungutan pajak karena tata usaha sekolah tidak mau menambahkan pelajaran menggali dan bersembunyi pada kurikulum. Mereka menitipkan anak-anak mereka pada luak dan belakangan bergabung dengan tikus tanah dan marmut tanah untuk memulai sekolah swasta yang berhasil.

Maka sebenarnya tidak ada klasifikasi, kasta, strata dan perbedaan. Semua sama, memiliki potensi kecerdasan masing-masing yang beragam dan bervariasi. Tidak ada tempat untuk kata bodoh dan pintar, hanya ada kata rajin dan malas. Itu saja. “Itulah mengapa” kata Anis Matta dalam sebuah ceramahnya, ”Umar bin Khottob di dalam sejarah tidak pernah diperintahkan sekalipun untuk memimpin sebuah peperangan, yang diperintahkan justru Kholid bin Walid, itu bukan karena Umar tidak bisa memimpin peperangan tetapi karena ia mampu melakukan lebih daripada itu. Ia mampu memimpin kekhilafahan. Dan Kholid bin Walid belum tentu sukses jika diminta memimpin negara, walaupun juga apakah Umar bisa sesukses Kholid bin Walid jika memimpin pasukan yang sama dan menghadapi momentum peperangan yang sama sulitnya”.

Ibnu al Qayyim misalnya, membuat daftar ilmuwan-ilmuwan muslim setelah Rasul wafat. Berjumlah seratus sampai seratus sepuluh orang. Kemudian ia mengklasifikasikanya menjadi tiga tingkatan. Dan dari tujuh ilmuwan terbesar di kalangan sahabat nama Abu Bakar tidak tercantum di dalamnya, tapi sejarah mencatatnya sebagai khalifah pertama.

Paradigma ini mungkin terkesan idealis. Tapi bukankah Allah telah memberikan ruang untuk adanya perubahan dengan firman-Nya, “sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Dan mari masih ada waktu, peluang dan kesempatan untuk mengembangkan bakat kecerdasan bervariasi itu. Melepas semua stereotif yang selama ini menyuburkan keterbatasan dan menggantinya dengan sebuah optimisme, bahwa kita ada bukan untuk menjadi orang lain tapi berkontribusi berdasar kapasitas kita masing masing yang variatif. Masa lalu biarlah berlalu, ia telah menjadi abu bersama waktu. Semoga dengan ini terbentuk sebuah tatanan sistem saling menghargai dan menghormati.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna