Mereka yang hidup di persimpangan


Oleh: Ahmad Adi Andriana

Umat itu terlahir dari interaksi panjang dengan al Quran. Hadir di titik antara harapan dan takdir. Tumbuh untuk menjadi idealisme sejarah tentang kedewasaan optimal. Dan hidup untuk menjadi hidayah dan hadiah bagi kemanusiaan. Bermula dari ruang sempit di atas puncak Jahiliah di abad ke-enam dan kemudian memutarbalikan realitas dari akar menjadi buah, dari sampah terbuang menjadi intan berharga dan dari gersang menjadi mata air dunia.

Setelah itu mengukuhkan diri sebagai satu-satunya umat yang memiliki susunan batu bata: wahyu terotentik diantara kitab suci yang turun dari langit. Akidah pemersatu sepanjang garis sejarah, tetap berdiri di atas perbedaan geografi tanah, bahasa dan ras. Syariat pemandu perjalanan, jaminan sampai di titik kebahagiaan dunia dan akhirat. Ruh jihad pelepas rantai ketidakadilan, dalam kurun waktu delapan puluh tahun lebih luas daripada yang mampu dilakukan Romawi selama delapan abad. Warisan turats yang kaya dan melimpah, menjadi ibu asuh bagi bangsa Barat meraih kedewasaan dan kebangkitan dari kegelapan abad pertengahan. Tanah air terluas, tanpa sekat dan garis pemisah negara. Peradaban berwarna Islam, merangkai peradabanya dengan tenunan keseimbangan dan prinsip agung tanpa batas ruang dan waktu. Dan umat itu, umat Islam namanya.

Tapi langit tak selamanya cerah, selalunya ada awan mendung menutupinya. Tepat setelah penjajah menginjakan kaki, putaran haluan mulai merambah. Sebagai contoh jika sejarah sebelum itu selalu menempatkan Islam sebagai marja dalam menjawab setiap tantangan, maka setelah itu berputar menjadi dua marja. Islam dan Barat. Itulah mengapa setiap ijtihad dan pembaharuan dari berbagai titik tolak sebelum itu tidak pernah ditandai dengan label Islami, karena memang tidak ada alternatif lain selain Islam.

Inilah saat yang disebut persimpangan sejarah, dan para pahlawan biasanya selalu hadir di titik itu. Maka tercatatlah nama Jamaludin al Afgani, seorang revolusioner kebangkitan dan hentakan. Muhammad Abduh, seorang pembaharu dunia dengan agama. Yang kemudian bertransformasi ke dalam sebuah gerakan bernama al Jamiah al Islamiyah. Dengan memiliki dua sayap, satu di Timur dan lainya di Magrib. Di Timur di bawah seorang pemikir Abdurahman al Kawakibi dan di Magrib di tangan Abdurahman bin Badis.

Dari merekalah ide-ide besar muncul. Ide besar tentang perubahan. Bahwa perubahan itu hanya bisa digapai dengan alternatif Islam dan dari dalam lipatan kain pemikiran islam. Bukan selainnya. Oleh sebab itu Afgani misalnya, mengatakan “obat paling mujarab bagi kemunduran umat Islam hanya terdapat jika dikembalikan pada kaidah agamanya, dan siapa yang mencari perbaikan dengan jalan selainnya maka ia telah melakukan kekeliruan besar. Tujuanya akan terjungkir balik; umat tidak akan bertambah apapun kecuali kemalangan dan tidak akan mendapatkan apapun kecuali kesengsaraan” karena menurutnya “agama, adalah sebab kebahagiaan manusia, jika agama itu murni dan benar sesuai perintah Ilahi, tanpa tercampur dengan kerancuan dari orang yang meyakininya. Agama itu akan menjadi sumber kebahagiaan sempurna dan kenikmatan luar biasa yang akan membawa pemeluknya ke tingkatan teratas kesempurnaan dan puncak keutamaan”.

Atau Abduh, menyatakan ”Islam adalah satu satunya jalan perbaikan bagi umat Islam dan realitasnya, itu karena jiwa mereka telah tunduk, bahkan telah menjadi karakter di dalam struktur kepribadian, maka orang yang mencari perbaikan di luar agama, telah menanam benih di atas tanah yang tidak cocok, sehingga tidak akan tumbuh apapun, dan hanya menyia-nyiakan lelah dan merapat dengan kegagalan”.

Ciri ciri ide mereka adalah; salafiyah, rasionalisme dan pencerahan. Salafiyah berarti mengambil aqidah, tanpa khurofat dan bersih dari segala penambahan. Rasionalisme berarti menyatukan nash dan akal, tanpa ada pertentangan. Dan pencerahan berarti memandang ke depan, tanpa hanya pada masa lalu. Sebagai sebuah dasar kokoh untuk menghadapi gaya berfikir abad pertengahan yang cenderung pada kejumudan, statis dan tidak berkembang, yang menjadi icon penolakan terhadap fungsi dan anugerah akal yang sempurna. Kemudian menjadi dasar kuat dalam keikutsertaan bersama demokrasi untuk menekan arus kediktatoran dan teokrasi. Dan pada akhirnya adalah sebuah upaya mengusir penjajahan yang telah menghapus jati diri peradaban dan kembali membangun sebuah peradaban menjulang dengan tenunan rapat keseimbangan dan prinsip luhur tanpa mengenal batas ruang dan waktu, sehingga kembali menjadi hadiah dan hidayah bagi kemanusiaan yang sedang sekarat dan telah parau berteriak meminta kehadiran sang penyelamat.

Bukan berarti tertutup dan mengucilkan diri, karena menurut Abduh, setelah ia mengatakan warisan agama adalah marja dalam pembaharuannya. Sementara itu pembaharuan sistem menuntut bantuan dari setiap praktek, pemikiran, teori, pengalaman, dan ilmu pengetahuan yang telah Diciptakan manusia, baik sebelum islam maupun setelahnya. Dari muslim maupun non Islam. Atau dengan kata katanya, ”seandainya Allah menganugrahkan seorang pemimpin, yang paham akan agama, untuk mengatur mereka (umat Islam) dengan kebijakanya, maka engkau akan melihat mereka bangkit dengan al Qur’an di salah satu tanganya dan apa yang telah ditemukan pendahulu mereka dan yang diciptakan selain mereka ada di tangan sebelahnya”.

Namun bukan berarti ketika mereka tiada ide-ide itu ikut menemani ketiadaan karena ide itu tidak akan pernah mati di telan waktu, ia akan tetap hidup bernafas menghembuskan harapan, walau bukan dengan jalan lamunan, tapi ide itu tetap hidup dengan jalan estafeta sejarah, atau oleh sejarah itu sendiri, karena sejarah seperti kata Malik bin Nabi adalah, ”gerak tangan, langkah kaki, denyut hati, dan kecerdasan akal.” Dan 31 tahun setelah wafatnya al Afgani, ide-ide itu merumput menjadi sebuah gerakan rekonsiliasi yang didesain oleh tangan Hasan al Banna, menjadi sebuah gerakan terbesar, terkuat dan paling berpengaruh di abad modern, menurut pandangan yang pro maupun kontra denganya. Ide-ide itu jika sebelumnya hanya milik kalangan elit maka dengan gerakan itu menjadi konsumsi umat, karena memang mereka berhak memilikinya, dengan sebuah gerak yang tak mengenal arti perputaran jam waktu, sehingga banyak yang memprediksikan inilah awal kebangkitan Islam itu.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna