Dakhil dalam Tafsir Al-Qur’an


Oleh: Imam Sururi

Pendahuluan

Segala puja dan puji bagi Tuhan semesta alam. Sholawat beriring salam atas baginda nabi Muhammad Saw.
Al-Qur’an selalunya menjadi sumber inspirasi bagi seluruh umat manusia dan juga ilmu pengetahuan, ia bagai cahaya yang tak akan pernah padam serta harta yang tak pernah habis dikuras, warisan terbesar yang diberikan Rasulullah kepada umatnya, sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup. Sungguh amat disayangkan, dari ratusan juta manusia yang mengakui AL-Qur’an sebagai kitab suci, ternyata sebagian besar dari mereka hanya menjadikannya sebagai pajangan serta hiasan lemari, hanya sebagai bukti jika mereka juga punya kitab suci seperti agama lain.

Dari jumlah umat Islam yang begitu besar, ternyata hanya sedikit sekali membaca, menghafal, mentadaburi apalagi yang mengamalkan isi kandungan kitab sucinya, mereka seakan tidak sadar jika di seberang sana atau bahkan di samping mereka, musuh-musuh agama ini selalu mengintai dan mencari celah untuk menghancurkan Islam secara perlahan. Umat ini sepertinya lupa atau mungkin pura-pura lupa dengan makar dan konspirasi yang dibangun kaum Kuffar, untuk menjatuhkan keotentikan Al-Quran serta menjauhkan kaum Muslimin darinya. Dan ternyata, rencana musuh-musuh kita berhasil, ini terbukti dari makin menjauhnya Al-Qur’an dari hati kita sebagai orang yang mempercayainya sebagai kitab suci, sungguh memprihatinkan.

Defenisi Dakhil

Sebelum memahami makna Dakhil lebih jauh, berikut pembagiannya serta contoh-contohnya di dalam Al-Qur’an, ada baiknya mengetahui terlebih dahulu defenisi kata Dakhil secara bahasa dan istilahnya menurut ulama tafsir.

Secara bahasa, kata ad-dakhil dalam bahasa arab memiliki banyak arti, Fairuzzabaadi dalam kamusnya Al-Muhit mengartikan kata dakhil sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu yang jelek. Menurut Zamakhsyari Dakhil merupakan suatu penyakit atau aib yg masuk ke alam tubuh atau ke dalam makanan sehingga merusaknya, sedangkan masyarakat Arab memaknainya sebagai suatu kata atau bahasa asing yang masuk dan bercampur ke dalam bahasa Arab. Dapat disimpulkan, arti dakhil secara bahasa adalah; makar, rekayasa, aib dan kerusakan.

Sedang makna dakhil secara istilah menurut ulama tafsir, sebagaimana yang di defenisikan oleh Dr. Ibrahim Khalifah adalah; penafsiran Al-Quran yang tidak memiliki sumber jelas dalam Islam, baik itu tafsir menggunakan riwayat-riwayat hadits lemah dan palsu, ataupun menafsirkannya dengan teori-teori sesat sang penafsir (karena sebab lalai ataupun disengaja). Sedang, Dr. Abdul Wahhab memaknai dakhil dengan; menafsirkan Al-Qur’an dengan metode dan cara yang diambil bukan dari Islam.

Pembagian Dakhil
Para ulama Tafsir membagi dakhil menjadi 2 (dua) jenis;
1. Dakhil bil Atsar:
 Tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan Hadits-Hadits yang sangat dhoif (lemah) atau palsu kemudian mengatasnamakan bahwa ini berasal dari Rasulullah Saw. dan para sahabatnya.
 Tafsir Al-Qur’an dengan menggunakan Isra’illiyaat (riwayat-riwayat yang berasal dari ahlul kitab dan umat terdahulu sebelum Islam) yang sangat bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Al-Qur’an serta Hadits-Hadits yang shahih.

2. Dakhil bi Ar-Ra’yi:
 Menafsirkan Al-Qur’an dengan akal dan teori sesat yang mengikuti hawa nafsu jahat sang penafsir, tanpa mengindahkan syarat-syarat metodologi tafsir bi ar-ra’yi, atau dikarenakan kurangnya syarat untuk menjadi seorang mujtahid.

Pengertian Isra’illiyat

Isra’illiyat merupakan salah satu bagian atau cabang dari dakhil (dakhil bil atsar). Secara bahasa, kata Isra’illiyaat dalam kosa kata bahasa Arab merupakan bentuk plural berasal dari kata Isra’illiyah. Sebenarnya, kata Isra’illiyat ini merupakan bentuk serapan langsung dari bahasa Israel (ibrani) yang terdiri dari 2 suku kata: “Isra’a” dengan arti hamba dan “Elly” yang berarti tuhan, jadi dalam bahasa ibrani kata ini bermakna “hamba tuhan”.

Isra’illiyat adalah nama lain dari Nabiyaallah Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim As. oleh karena itu, anak cucu serta keturunan nabi Ya’kub dikenal dengan sebutan bani Israil yang merupakan cikal bakal berdirinya Negara Israel d Palestina. Dalam Al-qur’an sendiri kata “Isra’iI” terdapat dalam surat Al-Maidah: 78.
لعن الذين كفروا من بني اسرائيل على لسان داوود و عيسى ابن مريم ذلك بما عصوا وكانوا يعتدون .
Juga dalam surat An-Naml: 76.
ان هذا القرآن يقص على بني اسرائيل أكثرالذي هم فيه يختلفون.

Meskipun kata ini dinisbatkan kepada kaum yahudi dan sebagian besarnya memang berasal dari ahlul kitab Yahudi, akan tetapi para ulama Tafsir dan Hadits memaknai Isra’illiyat secara lebih luas, yaitu: seluruh kisah-kisah serta riwayat yang berasal dari umat terdahulu sebelum Islam (baik itu dari agama Yahudi ataupun Nashrani) yang digunakan sebagai bahan rujukan untuk menafsirkan isi kitab suci meraka (bible). Bahkan, sebagian ahli Tafsir memandangnya lebih meluas lagi, memaknai Isra’illiyat dengan seluruh propaganda dan makar musuh-musuh Islam terutama para orientalis barat untuk merusak sumber aqidah suci umat Islam (Al-Qur’an dan Hadits), dengan maksud untuk merusak aqidah dan keyakinan kaum muslimin serta menyesatkan mereka, agar meniggalkan Al-qur’an dan As-Sunnah sebagai penopang dan pondasi keimanan.

Masuknya Isra’illiyat ke dalam Tafsir

Sebelum datangnya Islam di Jazirah Arab pada zaman jahiliyah, telah ada sekelompok ahlul kitab dengan sebagian besarnya bangsa Yahudi. Mereka bermukim di sebuah lembah yang di kelilingi oleh pegunungan serta terdapat banyak pohon kurma, tempat itu dinamakan Yastrib (sekarang Madinah Munawwarah), mereka datang berbondong-bondong ke Jazirah Arab karena ramalan para pemuka agama mereka tentang diutusnya nabi terakhir sebagai penerus Musa As. yang akan mengembalikan mereka kepada tanah suci sebagaimana telah dijanjikan Tuhan kepada mereka. Selain tinggal di Yastrib, sebagian mereka juga hidup berkelompok di Yaman dan Yamamah. Interaksi keseharian dan hubungan sosial yang berlangsung lama inilah yang menyebabkan pertukaran kultur serta budaya di antara kaum Yahudi dan bangsa arab, baik itu muamalah dalam percakapan sehari-hari maupun perdagangan, hingga pada akhirnya bercampurlah kultur budaya dan adat istiadat di antara mereka, bahkan hingga menyerempet pada titik keimanan dan keyakinan.

Ketika Rasululllah Saw. datang dengan syariat Islamnya dan memperluas medan da’wah hingga menjamah Yastrib, kemudian diikuti para sahabat yang berhijrah dari Makkah menuju Madinah. Mulai dari sinilah sebagian kecil orang Yahudi menyambut seruan nabi kepada Islam, salah satu contohnya adalah Abdullah bin Salam dan Tamim Ad-Daari Ra. Setelah memeluk Islam, mereka berdua menjadi salah satu rujukan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, terutama Abdullah bin Salam, misalkan ketika ingin menafsirkan ayat-ayat yang bercerita tentang kisah umat terdahulu dan dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara detail, maka sebagian sahabat bertanya kepada mereka berdua tentang kisah-kisah tersebut yang terdapat di dalam Taurat dan Injil.

Abu Hurairah, Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Amr bin Ash, merupakan sahabat yang paling banyak bertanya terhadap mereka berdua tentang Taurat, Injil dan juga kisah umat terdahulu yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an, atau diceritakan dalam A-Qur’an tetapi kurang terperinci, karena maksud Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah ini adalah sebagai ibroh dan pelajaran untuk kaum Muslimin.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa, masuknya isra’illiyat ke dalam tafsir Al-Qur’an paling tidak melalui 2 jalan:
1. Ketika Rasulullah tinggal di Madinah, beliau mendakwahi ahlul kitab dari bangsa Yahudi (bani Qainuqa, bani Nadhir dan bani Quraidzah) sehingga terjadilah pertemuan antara Nabi dan juga Sahabat dengan para ahlul kitab.
2. Sebagian orang-orang Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam dan Ka’ab Al-Akhbar, sehingga bercampurlah wawasan pemikiran mereka ke dalam Islam.

Sikap Rasulullah dan para Sahabat terhadap kisah-kisah isra’illiyat
Ketika segelintir orang-orang Yahudi memeluk Islam dan sebagian sahabat banyak bertanya kepada mereka mengenai Taurat dan Injil, terutama ketika mereka dihadapkan dengan cerita umat-umat terdahulu di dalam Al-Quran, pada awalnya Rasulullah sangat melarang, bahkan beliau sangat marah ketika melihat Umar bin Khottob datang dengan membawa lembaran-lembaran berupa kitab suci yang diperoleh dari ahlul kitab.

Tetapi kemudian, seiring berlalunya waktu dan Islam telah menyebar keseluruh rumah di Madinah, Rasulullah pun mengizinkan para sahabatnya untuk meriwayatkan cerita-cerita Isra’illiyat selama itu tidak bertentangan dengan Aqidah Islam.

Ada 3 tahapan Rasulullah dalam menyikapi isra’illiyat yang masuk ke dalam Islam:
1. Nabi memperingatkan dan melarang para sahabat untuk meriwayatkan kisah-kisah Isra’illiyat yang datang dari ahlul kitab, dengan alasan mereka (para ahlul kitab) telah merubah isi kitab suci itu, serta menafsirkannya dengan mengikuti hawa nafsu mereka. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dari hadits Jabir bin Abdillah, ketika itu Umar bin Khottob datang kepada Nabi dengan membawa lembaran kitab suci ahlul kitab kemudian membacakannya dihadapan Nabi, kemudian Rasul bersabda:
لاتسألوهم عن شئ فيخبروكم بحق فتكذبوا به، أو بباطل فتصدقوا به، والذي نفسي بيده
لو أن موسى حيا ما وسعه الا أن يتبعني.
Ini berlaku ketika Rasulullah baru tiba di Madinah dan Islam belum menyebar keseluruh penjuru kota.

2. Rasul mendiamkan ketika ada sahabatnya yang ingin meriwayatkan Isra’illiyat, kemudian beliau bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori dari hadits Abu Hurairah Ra:
لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبواهم وقولوا آمنا بالله وما أنزا الينا وما أنزل اليكم.

3. Setelah agama Islam menyebar ke seluruh penjuru Madinah, dan keimanan kaum Muslimin pada waktu itu sudah semakin kokoh, maka Rasulullah pun memberikan izin kepada sehabatnya yang ingin mengambil atau meriwayatkan kisah-kisah Israilliyat dengan syarat kisah Isra’illiyat yang akan diriwayatkan harus benar. Dengan dalil Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abdullah bin Amru bin Ash:
بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني اسرائيل ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.

Adapun para Sahabat dalam menyikapi hal ini, mereka memiliki syarat-syarat ketika ingin meriwayatkannya:
1. Mereka meriwayatkan Isra’illiyat setelah mendapat izin dari Rasulullah, itupun dengan sangat hati-hati.
2. Mereka menolak segala sesuatu yang menyangkut masalah aqidah dan juga syariat serta hukum Islam.
3. Tidak meriwayatkan sesuatu yang telah dijelaskan oleh Nabi.
4. Meninggalkannya jika sekiranya hal ini mengganggu waktu mereka dalam beribadah, serta kurang terlalu bermanfaat bagi mereka.
5. Menolak segala perkataan ahlul kitab serta riwayat yang berasal dari mereka ketika bertentangan antara akal dan agama.

Dakhil bi Ar-Ra’yi

Pada masa periode awal Islam, Ilmu Tafsir merupakan bagian dari Hadits, seiring berlalunya waktu serta bahasan di bidang Hadits yang semakin meluas, maka pada masa setelah Tabi’in pembahasan Ilmu Tafsir terpisah dari bahasan Hadits, ketika masa inilah mulai banyak lahir para Mufassir yang lebih mengendepankan akalnya dalam menafsirkan Al-Qur’an ketimbang menggunakan riwayat seperti halnya meriwayatkan Hadits, atau yang biasa dikenal dengan Tafsir bi Ar-Ra’yi. Dari sinilah kemudian secara perlahan masuknya Dakhil ke dalam Tafsir Al-Qur’an, bias jadi ini disebabkan juga karena banyaknya kelompok-kelompok pecahan dalam Islam yang masing-masing mencari bukti, baik itu menggunakan Al-Kitab maupun As-Sunnah demi membenarkan kelompoknya masing-masing.

Setidakknya ada beberapa sebab berkembangnya Dakhil bi Ar-Ra’yi. Kerusakan ini tumbuh dari pemahaman yang salah seorang Mufassir, bisa jadi disebabkan karena kurangnya syarat-syarat dalam berijtihad ketika menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Kemudian, ketika bertemu dengan ayat yang secara Dzohir bertentangan dengan akal, mereka (Mufassir) langsung mengambil kesimpulan dan menterjemahkan teks Al-Quran secara Dzohirnya saja, tanpa memandang konteksnya serta makna yang terkandung di dalamnya. Kemudian sebab selanjutnya adalah, ketika menafsirkan teks Al-Qur’an hanya demi membenarkan golongan tertentu atau kelompoknya saja, seperti apa yang dilakukan oleh Mu’tazilah dan Ahmadiyah, yang menyelewengkan dan mentafsirkan Al-Qur’an menurut hawa nafsu mereka saja, serta menolak teks-teks yang bertentangan dengan Aqidah dan keyakinan mereka.

Salah satu contoh distorsi Al-Qur’an yang dilakukan pada masa kini adalah apa yang telah diperbuat oleh Hasyim Amir Ali, seorang da’i Ahmadiyah yang telah menterjemahkan Al-Qur’an dan merubah susunan Surat di dalamnya, bahkan dengan berani ia membagi kitab suci umat Islam ini menjadi 5 bagian, sangat menakjubkan, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Bagaimana mungkin Qur’an Utsmani yang merupakan Ijma’ kaum Muslimin dibagi dan dirubah menjadi 5 bagian (kitab).

Kitab pertama dan kedua bernama “Al-Fatihah” dan “Ar-Ruuh” yang terdiri dari 18 Surat dan tersusun secara acak, kitab yang ketiga adalah “Al-Huda” terdiri dari 36 Surat Makkiyah, sedangkan buku yang keempat dinamakan “Al-Kitab” yang memiliki 36 Surat Makkiyah juga, kemudian buku yang terakhir adalah “Al-Mizan” yang diawali dengan Surat Al-Fatihah. Sungguh ini sebuah ide gila yang amat mengherankan. Bahkan, Al-Qur’an hasil karangan Hasyim Amir Ali ini telah diterbitkan di Tokyo, Jepang oleh perusahaan percetakan ‘Charles E-Tuttle Company’ tahun 1974 M. aneh tapi nyata.

Ahmadiyah dan kenabian Mirza Ghulam Ahmad

Pada tahun 1880 M. seorang kewarganegaraan India yang bernama Ahmad Badr Khan, atas perintah Iggris yang kala itu menjajah India, mencoba menafsirkan Al-Qur’an dan menolak serta menghilangkan ayat-ayat yang mewajibkan jihad, dengan alasan bahwa berperang melawan pemerintah Inggris adalah bentuk pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Dari sinilah awal mula berdirinya ajaran Ahmadiyah dengan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabinya.

Sepeninggal Ahmad Badr Khan, pemerintah kolonial Inggris kemudian menunjuk Mirza Ghulam Ahmad untuk melanjutkan dan menyebarkan ajaran yang sempat tertunda yang telah siprakarsai oleh Ahmad Badr Khan dan pemerintah Inggris, selanjutnya ia membentuk ajaran baru dalam Islam (lebih tepatnya sebagai agama baru) dengan nama Ahmadiyah yang diambil dari namanya serta nama pendahulunya, dari sinilah kemudian ia memproklamirkan diri sebagai Nabi baru Ahmadiyah sebagai penerus Nabi Muhammad Saw.

Demi menguatkan ajarannya, Ghulam Ahmad serta para pengikutnya menukil ayat Al-Qur’an dan menyelewengkannya dengan membuat tafsiran baru, agar klaim kenabian Ghulam Ahmad dapat diterima, mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an:
الله يصطفي من الملائكة رسلا ومن الناس ان الله سميع بصير.
Artinya: “Allah memilih utusan-utusan-Nya dari para malaikat dan juga dari manusia, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al-Hajj: 75).

Dengan menggunakan ayat inilah Ahmadiyah mengklaim kenabian Ghulam Ahmad, mereka mengatakan bahwa kata يصطفي adalah bentuk kata kerja mudhor’i, yang dalam bahasa arab menunjukkan kata kerja yang sedang berlangsung, itu artinya Allah selalu mengutus makhluknya baik itu dari golongan malaikat maupun manusia sebagai Rosul atau Nabi. Mereka beranggapan bahwa kenabian tidak terputus hanya sampai Nabi Muhammad saja , melainkan terus berlanjut dan akan ada Nabi-Nabi selanjutnya sebagai pelengkap dan penerus risalah Islam juga pembaharu Syariat.

Sungguh aneh, jika memang apa yang mereka tafsirkan itu benar, bagaimana ketika kita hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an:
اني أراني أعصر خمرا وقال الآخر اني أراني أحمل فوق رأسي خبزا.
Artinya: “Sesungguhnya aku bermimpi memeras anggur. Dan yang lainnya berkata: sesungguhanya aku bermimpi membawa roti di atas kepalaku.” (Q.S Yusuf: 36)
Kata أعصر dan أحمل merupakan kata kerja bentuk mudhar’i, yang menjadi pertanyaan, apakah hingga saat ini mereka yang diceritakan dalam ayat tersebut masih memeras anggur dan membawa roti di atas kepalanya?

Dalam Al-Qur’an, tidak semua fi’il mudhar’i itu menunjukan kejadian atau kegiatan yang sedang berlangsung, karena sebagian besar kisah-kisah umat terdahulu yang ada dalam kitab suci kita menggunakan fi’il mudhar’i, hikmah dari itu semua adalah agar seseorang yang membaca ayat-ayat tersebut dapat merasakan dan merenunginya lebih dalam, seolah-olah baru saja terjadi. Karena ada juga dalam Al-Qur’an ayat yang menggunakan kata kerja bentuk lampau (maadi) padahal itu belum terjadi, sebagaimana ayat dalam Surat An-Nahl:
أتى أمرالله فلا تستعجلوه سبحانه وتعالى عما يشركون.
Artinya: “Telah datang ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta agar disegerakan (datang)nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (Q.S An-Nahl: 1)

Dari ayat di atas, kata kerja bentuk lampau adalah أتى yang artinya telah datang, Para ulama Tafsir sepakat bahwa yang dimaksudkan adalah datangnya hari kiamat. Pertanyaanya adalah, apakah hari kiamat itu sudah datang sekarang? Mengapa kita semua masih hidup di muka bumi ini?

Untuk lebih menguatkan lagi aliran ajarannya, para ulama Ahmadiyah juga menggunakan ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab:
ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيين وكان الله بكل شيء عليما.
Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi. Dan Allah lah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al-Ahzab: 40)

Mereka menafsirkan kalimat خاتم النبيين bukan sebagai “penutup para Nabi” melainkan mengartikan maknanya sebagai “tanda/stempel kenabian,” jadi kesimpulan mereka dalam menerjemahkan makna kata جاتم adalah “cap, tanda atau stempel.” Mereka meyakini, pintu kenabian belumlah tertutup dan Muhammad bukanlah Nabi terakhir yang diutus Allah. Hasyim Amir Ali juga menerjemahkan ayat ini ke dalam bahasa Inggris dengan: “Mohammed can be no father to any man among you, but he is the Messenger of Allah and a confirmer of the Apostles. It is only Allah who, of all things hath knowledge.” Di dalam bahasa Inggris kata “a confirmer” berasal dari suku kata “confirmation” yang artinya penegas dan penguat. Ahmadiyah mengatakan bahwa Nabi Muhammad merupakan penguat para Nabi terdahulu, bukan sebagai Nabi terakhir.

Memang benar Rasulullah datang sebagai penguat dan penta’kid, tapi yang dimaksudkan sebagai penguat para Nabi bukanlah Tafsir pada ayat ini, melainkan pada ayat lain dalam surat As-Shoffat:
بل جاء بالحق و صدق المرسلين.
Artinya: “Sesungguhnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan para Rasul (sebelumnya).” (Q.S As-Shoffat: 37).

Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa arti dari kalimat خاتم النبيين adalah penutup para Nabi, bukan penguat atau pembenar para Rasul sebagaimana yang dikatakan Ahmadiyah.
1. Kamus bahasa arab.
• Dalam kamus yang dikeluarkan oleh Majm’a Lughah Arabiyah di Mesir munujukkan arti خاتم adalah الغطاء الذي يغطي شيء atau penutup yang menutupi sesuatu.
• Sedang, dalam kamus Lisanul Arab kata خاتم berarti التغطية على الشيء .
• dalam Majm’a Matan Lughah kata خاتم memiliki makna الاغلاق و الاقفال .

2. Hadits Nabi.
• Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Abu Hurairah:
ان مثلي ومثل الأنبياء من قبلي كمثل رجل بنى بيتا فأحسنه و أجمله، الا موضع لبنة من زواية، فجعل الناس يطوفون به و يعجبون و يقولون: هلا وضعت هذه اللبنة؟ قال: فأنا اللبنة و أنا خاتم النبيين.

3. Tafsir Al-Qur’an.
• Seluruh ulama tafsir sepakat, bahwa arti dari kalimat خاتم النبيين adalah akhir atau penutup para Nabi. Abdullah bin Abbas mengatakan “seandainya ada Nabi setelah Muhammmad, niscaya Allah akan memberikan kepadanya anak laki-laki sebagai penerusnya.”

Penutup
Rencana dan niat kaum Kuffar agar kita meninggalkan panduan serta pedoman hidup tidak akan pernah surut sedikitpun. Dari dahulu seharusnya kita berhati-hati terhadap niat jahat mereka, waspadalah waspadalah waspadalah. Penulis hanya bisa berpesan, bahwa kitalah sebagai umat Islam yang bisa menerti dan memahami problema yang sedang dihadapi kaum Muslimin, jangan pernah memejamkan mata dan menutup telinga dengan realita yang ada, karena musuh selalu menanti untuk menghancurkan pegangan hidup kita. Bangkitlah, harapan itu masih ada. Keep smile’s n positive thingking, peace.

Daftar pustaka

1. Al-Qur’an Karim dan terjemahannya.
2. Abu Firokh, Muhammad Ahmad Ibrahim, Ad-Dakhil fi At-Tafsir Thabari fi Al-Isr’a.
3. Abu Firokh, Muhammad Ahmad Ibrahim, Ad-Dakhil fi At-Tafsir, Tarjamatul Ahmadiyah.
4. Adz-Dzahabi, Muhammad Hussain, Isra’illiyat fi Tafsir wal Hadits. Cairo, Maktabah Wahbah, 2004.
5. Adz-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan fi Ulumil Qur’an. Cairo, Dar El-Hadits, 2006.
6. Echols, John M., kamus Inggris Indonesia. Jakarta, PT. gramedia Jakarta, Agustus 2000.
7. Suwailim, Sayyid Ahmad, Ad-Dakhil fi Tafsir Al-Qur’an. Cet. II.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna