Mengenal Eksistensi Tuhan


Bagi kita orang beragama, tidak dapat dipungkiri bahwa hidup di dunia ini membutuhkan Tuhan, karena Tuhanlah -yang memberikan nikmat dan kehidupan- kita memiliki sandaran ketika mendapatkan ujian ataupun musibah. Tuhan dengan sebutan apapun itu, manusia tetap membutuhkan sesuatu di luar dirinya selain manusia lainnya yang dapat menopang semua keluh kesah serta semua harapannya. Sehingga tidak aneh jika pada zaman dahulu manusia kerap kali menciptakan tuhan-tuhan untuk mereka sembah, walaupun ketika tuhan-tuhan yang mereka ciptakan sendiri itu tidak relevan dan tidak efektif lagi, maka dengan sendirinya ajaran agama serta tuhan-tuhan mereka pun berganti seiring berjalannya waktu.

Adapun bagi orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan maka hidup mereka bersandarkan kepada diri sendiri serta kepada hukum kausalitas yang mereka anggap alamiah tanpa melibatkan peran Tuhan di dalamnya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan, Nabi serta apa yang dibawanya itu tidak lebih dari sekedar dongeng belaka. Dimana sosok Tuhan dihadirkan dan lahir dari pemikiran manusia itu sendiri, bersifat gaib, suci serta digambarkan berbeda dengan makhluknya, adapun sosok nabi sendiri dipandang sebagai pembohong yang membawa risalah. Seiring berjalannya waktu, kultur alamiah membentuk kita untuk melihat kepada sesuatu yang bersifat fisik dan materi yang bisa diraba ataupun dilihat oleh panca indera manusia, sehingga muncul pernyataan-pernyataan bahwa Tuhan itu haruslah bisa dilihat dan dirasa secara kasat mata.

Kalaupun tuhan itu tidak bisa dilihat ataupun bersifat abstrak, maka tuhan itu tidak ada dan hanya karangan manusia belaka. Akan tetapi bisakah akal manusia membuktikan eksistensi Tuhan?

Disadari ataupun tidak, sedari zaman dahulu manusia selalu mencari eksistensi Sang Maha Pencipta dengan akalnya. Bahkan contoh kecil akal selalu berpikir mengenai eksistensi adalah ketika kita kecil terkadang sering bertanya-tanya kepada diri sendiri mengapa kita terlahir sebagai tubuh dan perasaan kita yang ini, keluarga yang begini, di lingkungan ini, serta dengan kondisi yang seperti ini? Lalu mengapa tidak terlahir sebagai orang lain ataupun menempati posisi teman kita sehingga kita pun bisa melihat diri kita dan orang lain melalui kacamata teman kita, bukankah itu akan terlihat lebih bagus? Ya akan terlihat bagus, karena kita sendiri yang mempunyai kehendak untuk berandai-andai dan mengatur segalanya agar berjalan seperti apa yang kita pikirkan. Dan tentunya orang lainpun akan berpikir dan berandai-andai seperti kita, sehingga setiap kita mempunyai kehendak mengatur hidup di alam ini. Ataukah hal seperti contoh tadi adalah suatu kebetulan biasa sehingga setiap kita menempati posisi masing-masing secara kebetulan tanpa ada yang mengatur? Hal lebih luasnya manusia berpikir tentang alam semesta ini, keteraturan serta hukum kausalitas yang ada di alam semesta ini, dimana ada sebab pasti ada akibat begitu juga sebaliknya, sehingga alam semesta ini terjadi pasti ada sebabnya. Dan manusia berpikir apakah penyebab terjadinya alam semesta ini, apakah terjadi secara kebetulan tanpa sebab ataupun ada sebab akan tetapi sebab yang terjadi secara alamiah, ataukah ada penyebabnya yaitu eksistensi sang Maha Pencipta yang menciptakan alam semesta ini?
Para filosof terdahulu telah menyadari bahwa ada eksistensi yang Maha Agung, walaupun kadang mereka masih meraba-raba. Plato misalnya, ia termasuk salah satu filosof yang berbicara mengenai eksistensi Tuhan, bahwasanya Tuhan adalah Sang Pencipta dan pengatur alam semesta ini sehingga tercipta sedemikian teratur dan rapi sehingga faktor kebetulan begitu kecil peluangnya jika dikatakan alam semesta ini terjadi secara kebetulan tanpa ada yang mengatur dan menciptakannya. Dan Plato sendiri mengemukakan bukti-bukti tentang eksistensi Tuhan diantara yang terpenting adalah bukti tentang kerapian. Plato berpendapat bahwa alam ini merupakan suatu tanda keindahan dan kerapian, selamanya alam ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan melainkan dia adalah ciptaan Zat Yang Berakal, Maha Sempurna, Pemilik Kebaikan, dan Pengatur segala sesuatu berdasarkan maksud dan hikmah tertentu. Akan tetapi Plato terbentur dengan akalnya sendiri ketika hendak menggambarkan bagaimana Tuhan membuat alam semesta ini dari sesuatu yang tidak ada, ataupun tercipta dari ketiadaannya atau disebut juga dengan creatio ex nihilo, oleh karena itu dia berpendapat bahwa semua makhluk itu tersusun dari materi dan bentuk sehingga dari bentuk itulah yang membuat materi menjadi benda-benda tertentu.

Pada akhirnya kerumitan alam semesta ini akan menggiring akal manusia serta menunjukkan bahwa ada kekuatan di luar diri manusia yang Maha Mengatur segalanya dengan sempurna. Karena alam semesta ini terlalu rumit dan sempurna jika dikatakan terjadi secara kebetulan. Ketika kita mendengar kata “kebetulan” gambaran kita adalah sesuatu yang terjadi secara tidak sengaja dan jarang terjadi. Apakah bisa dikatakan kebetulan ketika ada kumpulan huruf di suatu kotak, dan kotak tersebut terjatuh dikarenakan gempa, maka setelah terjadi gempa kumpulan huruf itu akan membentuk suatu kata atau membentuk kalimat atau bahkan menjadi sebuah paragraf, apakah mungkin terjadi yang seperti itu? Kalaupun menjadi suatu kata yang terbentuk, mungkin logika kita akan membenarkan bahwa terbentuknya kata dari sekumpulan huruf yang disebabkan gempa tersebut adalah suatu kebetulan. Ketika dikatakan kumpulan huruf itu membentuk kalimat dikarenakan oleh gempa maka logika kita akan berkata itu mungkin saja terjadi akan tetapi sulit dibayangkan. Dan jika dikatakan kumpulan huruf itu membentuk kata dan dari kata menjadi kalimat dan bahkan menjadi suatu paragraf, apakah sesuatu kumpulan kata itu mungkin membentuk paragraf yang dapat dibaca layaknya tulisan yang dibuat oleh seorang penulis? Sampai tahap ini baiklah kita katakan bahwa terbentuknya huruf menjadi kata, kalimat atau paragraf itu sebagai suatu proses yang mungkin terjadi secara kebetulan walaupun sulit sekali untuk dibayangkan bahwa kumpulan kata itu dapat terbentuk menjadi sebuah kata, kalimat bahkan menjadi sebuah paragraf yang rapi dan bisa dibaca.

Mungkin ada yang berkata contoh kumpulan huruf yang dicontohkan oleh penulis terlalu mengada-ada ataupun kecil kemungkinannya, walaupun kita hidup di alam yang penuh dengan kemungkinan. Dengan sendirinya logika kita akan berkata terlalu rumit jika kumpulan huruf itu terbentuk menjadi sebuah paragraf tanpa ada yang menyusun dan terjadi secara kebetulan. Lalu bagaimana dengan alam semesta ini yang tercipta begitu kompleks, tersusun rapi dan berjalan secara beraturan, bukankah keteraturan alam semesta ini suatu contoh yang amat sangat rumit jika dibandingkan dengan kumpulan huruf di kotak tadi? Lalu bagaimana bisa alam semesta yang sedemikian teratur ini terjadi secara kebetulan dengan sendirinya? Tentunya kita tidak percaya jika dikatakan kendaraan, pakaian dan rumah yang kita tempati terbentuk ataupun tercipta secara tiba-tiba dan kebetulan tanpa ada yang membuatnya. Kalaupun hukum kausalitas menjadi suatu standar yang dipahami dan dipakai oleh manusia, maka bukankah ketika kita menelusuri sesuatu apapun itu pada ujungnya nanti akan bertemu pada satu muara, yaitu sebab pertama yang menyebabkan semua yang ada di alam semesta ini tercipta?
Tidak semua yang tidak bisa dilihat, tidak bisa dipikirkan oleh akal dan diraba dengan panca indera kita itu tidak ada, karena panca indera kita adalah sesuatu yang terbatas, bahkan untuk melihat sesuatu yang jauh pun kita tidak bisa dan membutuhkan alat bantu. Ketika ilmu pengetahuan manusia sampai kepada taraf tertinggi menurut pandangan manusia, maka akan ada dua kemungkinan yang akan mengarahkannya. Yang pertama, manusia akan merasa bahwasanya ada eksistensi Tuhan yang Maha Tahu yang menyebabkan segalanya dan menganggap alam semesta ini tidak terjadi secara kebetulan. Dan yang kedua, manusia yang menganggap bahwa segala sesuatu terjadi di alam semesta ini secara alamiah yang disebabkan oleh sebab akibat seperti berjalannya rantai makanan pada ekosistem. Wallahu a’lam bish shawab.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna