NIKAH DAN THALAQ


Oleh: Heru Mahbarullah

NIKAH

Dalam pembahasan nikah ini dibagi kedalam beberapa point diantaranya:
a. Definisi nikah
b. Hukum nikah
c. Syarat-syarat nikah
1. Definisi

Pada umumnya makna nikah dapat diartikan dari berbagai sudut pandang yaitu diantaranya: menurut pandangan sastarawan atau ahli bahasa, ushul fikih dan dari sudut pandang fikih.

Makna nikah menurut bahasa ialah berhubungan badan dan menumpuk atau menyusun (wathu wa dhommu) bisa juga berarti saling memasukan (tadakhul) seumpama perkawinan setangkai pohon atau bunga yang bergoyang karena tiupan angin maka saling menumpuk satu sama lainnnya. Sedangkan makna nikah menurut pandangan fikih berbeda pendapat namun hanya dalam konteksnya saja tapi semuanya kembali pada makna yang sama yaitu bahwa akad nikah itu telah ditetapkan oleh allah swt untuk mengatur suami atas istrinya dalam menggaulinya dan seluruh anggota tubuhnya dengan jalan saling merasakan kenikmatan.

Adapun makna nikah menurut pandangan ushul fikih para ulama berbeda pendapat dalam hal ini diantaranya:

Hanafiyah: mereka berpendapat bahwa hakikat pernikahan itu adalah dalam jima (wathu) dan kiasan pada akad. Seperti firman Allah swt (qs: annisa ayat: 22) yang artinya sebagai berikut: “dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu…”, Maksud kandungan ayat diatas ialah perempuan yang telah berhubungan badan dengan ayahnya yang melepaskan hukum musabbab ‘ala sabab
Syafi’iyah dan malikiyah: bahwasannya hakikat dari pernikahan itu ialah akad dan kiasan dalam jima karena jima itu tidak mesti meminta izin namun hukum akad yang menjadikan semuanya boleh dilakukan yakni berhubungan antara lawan jenis.sebagaimana firman Allah swt (qs: al baqarah ayat: 230) yang artinya: “ kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain…” Ini adalah pendapat yang lebih di terima dikalangan para ulama fikih kebanyakannya.

Dan pendapat yang ke3 (tiga) ini adalah gabungan lafadz dari antara akad dan jima (wathu) karena terkadang dalam al qur’an menggunakan kata aqdu dan terkadang juga mengguanakan kata wathu (jima) maka oleh karena itu menunjukan bahwa nikah itu hakikatnya pada akad dan jima.

dalam kitabnya imam assyaukani menambahkan: bahwasannya imam yahya dan al qosim azzujaji dan sebagian hanafiyah berpendapat bahwa nikah itu gabungan lafadz antara akad dan jima seperti perkataannya al faris “apabila dikatakan seorang anak perempuan atau laki telah menikah maka maksudnya ialah telah berakad dan apabila dikatakan telah menikah suami istri maka maksudnya ialah telah berjima”.

Abdullah bin Abdurrahman bin sholah aly bassam dalam kitabnya mengatakan bahwa setiap kata nikah yang tercantum dalam al qur’anul karim itu maksud dari intinya ialah sama yaitu kata akad (al aqdu) kecuali firman Allah swt (qs: al baqarah ayat: 230) yang artinya sebagai berikut: “ kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain…” Maksud kandungan ayat diatas ialah jima (wathu).

2. Hukum

Telah sepakat para ulama bahwa hukum nikah mencangkup hukum-hukum syar’I yang 5 yaitu:
a. Wajib
b. Haram
c. Sunnah
d. Makruh
e. Mubah atau boleh

A. wajib

Seseorang dikatakan wajib menikah apabila dia telah sempurna segala persiapannya baik itu persiapan ruhani ataupun jasmani terlebih kepada orang yang nafsunya sedang berkobar-kobar dalam dirinya yang kalau didiamkan bisa mendorong dan menarik kepada perbuatan tercela baik itu hal kecil seperti onani, pacaran, nonton film porno atau bahkan hal yang lebih besar seperti perbuatan zina, oleh karena itu untuk membendung dan menyalurkan keinginan nafsu tersebut dijalur yang benar maka islam telah memberikan lahan sarana yaitu sebuah pernikahan dan anjuran untuk bersegera menikah karena menjaga diri dan menjauhkan diri dari hal-hal yang haram itu adalah sebuah kewajiban dan tidaklah semuanya itu bisa sempurna pencegahannya kecuali dengan sebuah pernikahan.

Kurtubi pernah berkata: orang yang mampu itu ialah orang yang takut akan kemadlaratan akan diri dan agamanya dari membujang dan tiada jalan untuk melepaskan dari dirinya itu selain daripada menikah.

Jika seseorang sedang berkobar dalam dirinya nafsu sedangkan dia lemah dalam memberikan infaq terhadap istrinya maka dia akan di lapangkan sebagaimana firman Allah swt (qs: annur ayat 33) yang artinya sebagai berikut:
“ dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karuniaNya…”
Dan perbanyaklah berpuasa seperti yang dicontohkan oleh nabi Muhammad saw karena dengan puasa dapat menenangkan hati membunuh dan mamdamkan kobaran nafsu dalam diri.

Pendapat para ulama tentang hukum wajib dalam nikah:

Malikiyah: nikah hukumnya wajib dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Takut dirinya terjerumus dalam perbuatan zina.
2. Tidak kuat berpuasa yang dapat terhindar dari zina atau mampu untuk berpuasa tapi tidak dapat menghindari dari perbuatan zina.
3. Tidak kuat dalam kemewahan tapi apabila mampu untuk menikah dan kuat berpuasa dan dapat menguasai nafsunya dari perbuatan tercela bahkan hidup dalam kemewahan maka yang di prioritaskan ialah nikah.

Sebagian dari mereka mengsyaratkan untuk mampu dalam usaha dengan jalan yang halal dan takut akan terjerumus kedalam perbuatan zina maka nikah hukumnya wajib.

Hanafiyah: ada 4 syarat hukum nikah dapat dikatakan wajib yaitu:
1. Yakin bahwa dirinya dapat terhindar dari perbuatan zina tapi apabila keadaanya lagi sendiri dia takut akan terjerumus dalam perbuatan zina.
2. Tidak kuat berpuasa yang dapat terhindar dari perbuatan zina.
3. Tidak tahan dengan kemewahan.
4. Mampu memberikan mahar dan infaq dari hasil usahanya sendiri dengan jalan yang halatidak dengan kesewenang-wengan.

Syafi’iyah: nikah wajib apabila telah memutuskan untuk meninggalkan perbuatan yang haram.

Hanabilah: nikah hukumnya wajib apabila takut akan terjerumus dalam perzinahan kalau tidak cepat-cepat nikah walau hanya baru perkiraan baik itu perempuan atau laki-laki hukum nikahnya wajib.

B. Sunnah

Apabila seseorang telah yakin akan dirinya untuk menikah dan mampu dalam menjalankan kendali rumah tangga tetapi dalam dirinya masih percaya bahwa masih mudah untuk terbawa kedalam arus yang dilarang oleh Allah SWT maka dalam keadaan seperti itu sunnah hukumnya untuk melaksanakan pernikahan dan alangkah lebih bagus apabila dalam kesehariannya itu dikosongkan dari kegiatan-kegiatan melainkan hanya diisi dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT.

Pendapat para ulama tentang hukum sunnah dalam nikah:

Malikiyah: sunnah hukumnya jika seseorang yang tidak menginginkan untuk menikah akan tetapi dia mengharapkan akan mempunyai keturunan tapi dengan syarat dia sanggup melaksakan kewajiban atau tanggung jawabnya dari mulai usaha untuk kebutuhan seharian sampai mampu memberikan kebutuhan biologis namun apabila sebaliknya maka haram baginya untuk menikah.

Hanafiyah: nikah sunnah hukumnya bagi orang yang mempunyai keinginan untuk menikah tapi kondisi dirinya tidak seimbang antara ketidak yakinannya akan terjaga dari jurang perzinahan dengan perasaan tidak takut akan terjerumus kedalam perbuatan zina namun apabila dalam kondisi ini pernikahan ditinggalakan maka dia berdosa seringan-ringannya dosa dari dosa meninggalkan perkara yang wajib.

Syafi’iyah: asal mula dari hukum nikah ialah boleh maka boleh bagi seseorang untuk menikah dengan maksud merasakan kenikmatan dan bersenang-senang namun apabila niatnya untuk menjaga diri dari perbuatan tercela dan mengaharapkan keturunan seorang anak maka hukumnya sunnah.

Hanabilah: bagi siapa orang yang menginginkan nikah dan dirinya tidak takut akan terjerumus dalam perzinahan baik itu perempuan atau laki-laki dalam keadaan seperti ini lebih utama untuk menjaga dirinya dan istrinya dan menghasilkan keturunan anak yang banyak.

C. Haram

Nikah dihukumi haram apabila ada maksud untuk menyakiti pasangan atau ada udang di balik batu ada sesuatu hal yang diinginkan dari pasangannya yang tentunya hal yang bisa merugikan dan menyakitkan sebelah pihak bahkan tidak mampu memberikan kebutuhan dan hak-hak yang mestinay didapatkan dalam hubungan suami istri seperti kebutuhan biologis, infaq, kasih sayang, perhatian dan lain sebagainya.

imam kurtubi berkata:
maka kapan saatnya seorang istri dapat mengetahui bahwa suaminya itu mampu untuk memberikan hak-hak kewajibannya terhadap istri dan anak-anak seperti shodaqah dan kasih sayang? Maka tidaklah halal seorang laki-laki menikahi seorang perempuan sampai dia menjelaskan atau memberi tahukan kepada pihak perempuan kalau dia memang benar-benar mampu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami yang bertanggung jawab atas tanggungannya, sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab atas tugas dan prajuritnya.

Pendapat para ulama tentang hukum haram dalam nikah:
Malikiyah: haram nikah bagi orang yang tidak takut akan terjerumus dalam perbutan zina dan terbukti kalau dia lemah atau kurang mampu dalam memberikan infak pada istrinya dari hasil usaha yang halal atau bahkan gak mampu memuaskan keinginan biologis istri dalam berjima namun apabila istrinya menerima dengan keadaan suaminya yang serba kekurangan maka boleh-boleh saja tapi bila dalam usaha istri menerima juga suaminya usaha dari hasil yang haram korupsi misalnya maka itu tidak dibenarkan dalam hukum.

Hanafiyah: haram jika hasil usahanya dari pekerjaan yang dilarang dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil atau keuntungannya bukan membawa kemaslahatan buat diri dan istri namun sebaliknya malah mambawa kemadlaratan dan kerusakan karena sesungguhnya nikah itu di syariatkan untuk mendapatkan kemaslhatan dan menjaga diri dan juga memperoleh pahala dari Allah SWT.

Hanabilah: haram nikah disaat kondisi lagi berperang atau dalam medan peperangan terkecuali dalam keadaan madlorat maka di boleh untuk melangsungkan pernikahan dan haram hukumnya ketika sedang berstatus jadi tawanan apapun itu keadaanya.

D. Makruh

Makruh hukumnya nikah apabila tidak memberikan hak-hak teradap istri sebagaimana mestinya seperti memberikan shadaqah atau infaq dan tidak memenuhi kebutuhan biologis istri. Walau sebenarnya termasuk orang berada tapi tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk melakukan hubungan intim dengan istri oleh sebab itu jika terjadi sesuatu hal yang mengakibatkan berkurangnya sebuah ketaatan dalam hubungan suami istri sekalipun itu sibuk dengan urusan keilmuwan maka makin bertambah hukum kemakruhannya.

Pendapat para ulama tentang hukum makruh dalam nikah:
Malikiyah: makruh bagi seseorang yang tidak mempunyai keinginan untuk nikah karena dia takut untuk tidak mampu melaksakan sebagian kewajibannya atau takut dengan pernikahan tersebut akan menelantarkan dirinya dalam mengerjakan amalan-amalan sunnah (tathowwu’) baik itu laki-laki ataupun perempuan sebagaimana yang telah diketahui, baik mempunyai angan-angan untuk memperoleh keturunan ataupun tidak.
Hanafiyah: makruh hukumnya apabila takut menimbulkan kedzaliman dan kesewenang-wenangan dengan tanpa ada keyakinan sekit pun dalam pernikahan.

Syafi’iyah: nikah makruh hukumnya apabila seseorang takut akan tidak adanya kepuasaan hak dirinya atas istrinya dalam hal ini pihak wanitanya yang tidak ada keinginan untuk menikah dan tidak ada rasa butuh terhadap kehadiran sang suami bahkan tidak takut akan apa yang akan terjadi seperti kehancuran hubungan suami istri atau cerai.

E. Mubah

Hukum nikah mubah apabila sudah hilang atau terjaga dari perasaan gelisah, cemas dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan munculnya keraguan dalam hati.

Pendapat para ulama dalam hukum mubah nikah:

Malikiyah: mubah bagi orang yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah dan tidak ada harapan untuk mempunyai keturunan anak padahal sebenarnya dirinya mampu untuk melangsungkan pernikahan dan menuanaikan kewajibannya dalam rumah tangga tanpa membiarkan pekerjaan yang bersifat sukarelawan.

Hanafiyah: bagi setiap orang yang mempunyai keinginan untuk menikah dan tidak takut akan terjerumus dalam lubang perzinahan begitupun tidak adanya keyakinan untuk menikah akan tetapi dirinya menikah hanya sebatas untuk menyalurkan kebutuhan syahwatnya maka mubah baginya untuk menikah.

Syafi’iyah: asal mula hukum nikah ialah mubah maka boleh bagi seseorang menikah dengan bertujuan untuk merasakan kenikmatan dan merasakan kesenangan.
Hanabilah: mubah bagi orang yang tidak memiliki keinginan untuk menikah dengan syarat tidak adanya kemadloratan dan kerusakan moral dalam hubungan suami istri.

3. syarat-syarat
Syarat-syarat nikah adalah sebuah alat parameter atau sebagai batas minimal untuk menentukan apakah sah atau tidaknya seseorang dalam melaksanakan sebuah pernikahan baik itu faktor yang berkaitan dengan kondisi suami atau dari pihak istri ataupun yang berkaitan dengan saksi dan wali dan lain sebagainya.

Adapun syarat-syarat sah nikah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat yang berkaitan mengenai bentuk kalimat (sighah)
- Telah sepakat imam yang tiga diantaranya syafi’iyah, hanabilah dan malikiyah bahwa nikah tidak sah dengan menggunakan lafadz akad yang mengandung makna kepemilikan seperti: jual, beli, shodaqoh, milik dan lain sebagainya
Conton: saya shodaqohkan pada kamu anak saya dengan mahar 10 gram mas.

Akad tersebut seperti dalam akad perdamaian atau tebusan dan akad pinjam-meminjam.
Lain halnya dengan madzhab hanafiyah mereka berpendapat bahwa akad seperti diatas itu sah.

Dan telah bersepakat syafi’iyah dan hanabilah bahwa tidak sah nikahnya seseorang kecuali dengan menggunakan kalimat nikah (inkah atau tazwij) oleh karena itu tidak sah apabila dalam akad menggunakan kalimat memberi (hibah) jika dibarengi dengan menyebutkan maharnya.
Contoh: Saya berikan pada kamu anak saya dengan mahar 10 gram mas.

- Sepakat para ulama bahwa akad nikah telah menjadi sah walau hanya bercanda, jika seseorang mengatakan kepada yang lainnya “saya nikahkan kamu dengan anak saya”, terus dijawab “saya terima” kemudian mereka tertawa terbahak-bahak maka telah jadi akad diantara keduanya. Contoh lainnya seperti talaq dan membebaskan budak keduanya bias terjadi dengan hanya bercanda.

Dan telah sepakat imam yang tiga syafi’iyah, hanabilah dah malikiyah yakni tidak menjadikan akad dengan adanya rasa keterpakasaan.
Contoh: jika seseorang memaksa yang lainnya agar dia mengatakan “saya terima nikahnya dengan jalan paksaan” maka akadnya tersebut batal.

Berbeda dengan hanafiyah mereka berpendapat bahwa keadaan paksaan seperti ini masih termasuk kedalam sahnya akad nikah dan sungguh jelas bahwa makna paksaan disini berbeda dengan paksaan wali yang dipaksa.

- Telah sepakat semua ulama yaitu pentingnya satu tempat acara ketika berakad.
Contoh: wali, “saya nikahkan kamu dengan anak saya” lalu terputus atau tertunda acaranya sebelum pihak laki-laki mengatakan “saya terima” kemudian selang beberapa waktu berkata “saya terima” dengan letak acaranya ditempat lain maka tidah sah akadnya.

Dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah bersegera atau cepat-cepat (faur) yaitu ucapan qobul membalas ijab tanpa terpisah maka telah sepakat hanabilah dan hanafiyah bahwa bersegera dalam akad bukan termasuk kedalam syarat selama acaranya masih bejalan seperti biasa, tetapi bila menjadi lebih sibuk dengan hal yang memutuskan acara tersebut maka tidak sah.

Sedangkan syafi’iyah dan malikiyah mensyaratkan dengan memaafkan hal mudah yang menunda acara tadi yang tidak sampai memutuskan untuk bersegera.

- Telah sepakat syafi’iyah, hanabilah dan malikiyah sahnya mendahulukan dulu qobul daripada ijab.Contoh: Suami , “saya terima nikahnya anak bapak dengan mahar 10 gram mas”
Wali, “saya nikahkan kamu dengannya”
Dan begitu juga jika berkata,
Contoh: Suami, “saya nikahi anak bapak”
Wali, “saya nikahkan”
Contoh yang kedua sah tanpa tanpa manggunakan kalimat “saya terima” karena makna “saya nikahi” sama dengan “saya terima nikahnya”
Akan tetapi menurut hanafiyah bahwa yang didahulukan itu perkataan ijab baik itu dari pihak suami ataupun dari pihak istri.

Adapun hanabilah berbeda dengan ketiga pandapat diatas, yaitu harus mendahulukan ucapan wali atau siapa saja sebagai wali “saya nikahkan kamu dengan anak saya” kemudian pihak suami atau sapa saja sebagai suami menjawab “saya terima” atau “saya ridha” maka tidak sah nikahnya apabila mendahulukan qobul daripada ijab.

- Telah sepakat imam yang tiga hanafiyah, hanabilah dan malikiyah bahwa dicukupkan didalam qobul dengan perkataan “saya terima” atau “saya ridha” baik dengan dirinya langsung ataupun diwakilkan.

dan berbeda dengan pendapat syafi’iyah menurut mereka harus jelas dengan menggunakan lafadz nikah (nikah atau tazwij) ketika qobul “saya terima nikahnya” hingga walaupun dalam hatinya telah berniat itu tidaklah cukup.

- Sepakat semua ulama bhwa nikah yang dibatasi dengan waktu tertentu hukumnya batal.
Contoh: saya terima nikahnya anak bapak selama dua pekan dengan mahar 10 gram mas.

b. Syarat yang berkaitan dengan suami istri dan saksi
- Telah sepakat syafi’iyah, hanabilah dan hanafiyah dalam pentingnya kehadiran saksi disaat akad berlangsung dan jika tidak ada kesaksian dari dua orang saksi ketika ijab dan qobul maka akadnya batal.

Berbeda dengan pendapat malikiyah adanya dua orang saksi itu penting akan tetapi tidak mesti untuk hadir ketika akad adapun kehadiran dua orang saksi tersebut ketika akad berlangsung hukumnya sunnah.

- Telah sepakat syafi’iyah dan hanabilah dalam konteks adil bagi kedua saksi bahwa telah dianggap cukup bagi saksi yang menganggap dirinya adil walaupun hanya hampak dari luarnya saja dan jika telah terbukti benar adil terhadap suami istri maka sah kesaksiannya, tidak dibebankan kepada suami istri untuk mencari kebenaran atas keadilannya karena itu memberatkan dan mempersulit.

Kemudian berkata malikiyah jika ada saksi yang adil tapi tidak berbuat adil terhadap suami istri dan jika tidak ada yang adil maka sah kesaksiannya bagi orang asing yang tidak dikenal dengan kebohongannya.

Dan telah sepakat syafi’iyah, hanabilah dan malikiyah disyarakan bagi kedua saksi dari laki-laki.

Adapun hanafiyah berpendapat adil bukan termasuk kepada syarat sah dalam akad tapi disyaratkan untuk menetapkan ketika ada ingkar dan tidak disyaratkan juga harus dari laki-laki sebagai saksi tetapi sah saksi dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, tidak sah apabila dua saksi dari perempuan keduanya tapi harus ada seorang laki-laki.

- Telah sepakat syafi’iyah, hanabilah dan hanafiyah bahwa kesaksian dari seorang muhrim tidak sah dalam akadnya.

Berbeda dengan malikiyah sah akadnya apabila saksinya dari sorang muhrim dan tidak disyaratkan saksi dari muhrim.

Sebagian ulama menambahkan beberapa syarat-syarat saksi dan suami istri diantaranya, yaitu:
- Berakal
- Baligh
- islam
- Halal bagi wanita untuk dinikahi
- Merdeka
- Suami dan istrinya dikenal
- Bukan disaat masa nunggu (‘iddah)
- Tidak adanya larangan syar’I atas suami istri untuk melaksanakan perenikahan.
- Tidak berlebihan dalam memilih pasangan atau syarat yang dapat menyebabkan batalnya akad.
- Mendengarkan perkataan mempelai (tidak tidur)
- Sehat luar dalam

Menurut pendapat hanabilah sah hukumnya saksi orang yang buta.
- Bukan banci
- Jujur

c. Syarat-syarat yang berkaitan dengan wali diantaranya:
- Laki-laki
- Berakal
- Baligh
- Merdeka
- Islam
- Memiliki pengetahuan dalam kemaslahatan nikah.
- Jujur
- Tidak bodoh

Talaq

1. Definisi
Kata talaq menurut bahasa ialah diambil dari kata itlaq artinya yaitu melepaskan dan meninggalkan seperti perkataan “saya bebaskan tawanan” sedangkan menurut istilah ialah melepaskan hubungan hubungan suami istri, dan mengakhiri ikatan suami istri.

2. Hukum

Dikalangan fuqoha berbeda pendapat dalam menghukumi talaq, dan pendapat yang paling benar atau diterima yaitu pendapatnya hanafiyah dan hanabilah yang melarang perbuatan talaq tersebutDkecuali adanya kebutuhan atau keadaan yang mengharuskan untuk talaq, dalil yang melarang perbuatan talaq hadits nabi, yaitu:
لعن الله كل ذواق, مطلاق
Artinya: Allah melaknat setiap yang suka kawin cerai atau talaq.
Adapun dikalangan hanabilah membagi hukum talaq kepada beberapa bagian diantaranya, yaitu:

a. Wajib
Talaq yang disebabkan karena terjadi perselisihan atau pertengakan antara suami istri dan hanya dengan jalan talaq untuk bisa meleraiakan perselisihan tersebut sebagaimana dalam al qur’an (qs: al baqarah ayat: 226-227) yang artinya: “ bagi orang yang meng-ila istrinya (besumpah tidak akan menggaulinya) harus menunggu empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sungguh Allah maha pengampun, maha penyayang “
“ dan jika mereka bertetapan hati hendak menceraikan, maka sungguh, Allah maha mendengar, maha mengetahui “

b. Haram
Hukumnya haram apabila talaq tersebut tanpa ada kebutuhan atau maksud tertentu bahkan membuat kemadlaratan dalam hubungannya dalilnya yaitu:
لا ضرار ولاضرار

c. Mubah
Mubah disebabkan adanya maksud tertentu dengan talaq tersebut seperti dikarenakan sifat atau kebiasaan istri yang buruk, buruk dalam berhubungan suami istri dan menjadi madlarat untuk tercapainya tujuan.

d. Sunnah
Talaq yang disebabkan istri yang berlebihan dalam menunaikan hak Allah sehingga terabaikan hak atas suaminya dalilnya (qs: annisa ayat: 19) yang artinya:
“ dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang kamu berikan padanya kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata “.

3. Syarat-syarat
Talaq mempunyai syarat-syarat, syarat-syarat itu ada yang berkaitan dengan suami, berkaitan dengan istri dan yang berkaitan dengan konteks kalimat (shigah).

a. Yang berkaitan dengan suami:
- Berakal
- Baligh
- Berdasarkan pertimbangan

b. Yang bekaitan dengan istri
- Dalam keadaan suci
- Bukan orang ketiga
- Istri yang sah

c. Yang berkaitan dengan konteks kalimat (shigah)
- Menggunakan lafadz yang jelas
- Lafadz yang diucapkan mengandung makna talaq

Talaq makruh
Ialah talaq bukan atas keinginan dan bukan berdasarkan pertimbanga, dalilnya qs. Annahl ayat:
“ …kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman…”

Talaq sakran
Ialah talaq yang disebabkan seseorang hilang ingatan karena mabuk, dalilnya qs, annisa ayat: 43 yang artinya:
“ hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati sholat ketika kalian mabuk sampai kalian sadar apa yang kmu ucapkan…”

Talaq ghadban
Talaq yang tidak ada gambaran dan tidak tau apa yang sebenarnya terucap, sebagaimana hadits nabi:
لاطلاق و لاعتاق في اغلاق
Artinya: tidak ada talaq dan tidak ada pembebasan budak ketika marah.

Talaq hazil dan mukhti
Yaitu seseorang yang berkata tanpa ada maksud akan tetapi bertujuan hanya sekedar main-main sedangkan talaq mukhti ialah seseorang salah dalam berbicara tanpa ada keinginan untuk talaq.wallahu a'lam.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna