Sang Idealis Yang Terpental


Oleh: Ahmad Adi Adriana

"Manusia adalah kalkulasi dari fokus yang beragam"(sayid qutb)
Terpaan arus lingkungan yang tidak bersahabat dan ketidak sesuaianya dengan imajinasi awal, menjadi kambing hitam akan ketidak-berdayaan menaklukan Mesir. Semangat membara seakan surut bagai tak pernah ada di saat dihadapkan dengan rintangan. Idealisme yang di bawa dari Indonesia hanya menjadi bahan pembicaraan lalu, seakan lupa bahwa idealisme tersebut adalah salah satu faktor yang mendorong kita berani melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman. Dan harapan memperbaiki diri tergilas oleh kebiasaan buruk yang sudah melekat dan mendarah daging. Kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi seperti itu adalah " sang idealis yang terpental" atau kasarnya, "sang pecundang".

Ternyata sudah sekian lama kita menjadi seorang pecundang -tidak bisa menyamakan antara kata-kata dan realita diri- dengan indikasi wajarnya berpura-pura dan menutup-nutupi idealisme, lebih disibukan oleh hal-hal yang tidak ada hubunganya dengan apa yang kita anggap penting. Menolak mengakui kejujuran hati bahwa sebenarnya kitalah yang tidak berdaya dan menyerah, bukan karena lingkungan yang tidak bersahabat dan sewaktu diingatkan kembali tentang idealisme itu secepat kilat memeras otak mencari cari alasan yang tepat untuk dijadikan sebagai kambing hitam.

Seorang pecundang selalu lantang berkoar-koar tentang sebuah idealisme yang melangit namun seiring waktu tidak ada tanda-tanda akan terwujud. Bahkan yang menyedihkan; realita yang ada bertentangan dengan kata-katanya yang manis. Ketika sikap pecundang ini terus dipelihara dan mendominasi, maka masalah yang ada menjadi seperti ombak besar yang menerjang, datang dan memukul jatuh dan kita pun terseret. Saat berjuang untuk bangkit, kembali datang ombak besar lainnya yang menjatuhkan kita untuk kedua kalinya dan menghempaskan kita ke tanah dan satu-satunya kelegaan yang dipunyai adalah dengan melepaskan diri kepada aktivitas yang tidak penting. Inilah waktu dimana kita dikatakan menyerah dan menjadi seorang pecundang. Kita tidak sama dengan orang sukses -yang dalam sebuah penelitian- mempunyai kebiasaan mengerjakan hal-hal yang tidak suka dikerjakan oleh orang gagal. Walaupun mereka belum tentu suka mengerjakanya, namun ketidak-sukaan mereka tundukan pada kekuatan tujuan mereka. Lebih parah daripada itu adalah tidak mau mengakui bahwa kadang kita menjadi seorang pecundang. Sikap seperti ini biasanya membuat kita menipu dan membenarkan diri dan sering melibatkan rasionalisasi atau kebohongan yang rasional pada diri sendiri dan orang lain. Maka sudah saatnya kita mengerahkan segenap usaha untuk sedikit demi sedikit melepaskan label pecundang pada diri kita. Tidak lagi menyalahkan lingkungan dan orang lain, karena itu percuma dan membuang banyak energi. Tidak jauh berbeda seperti orang yang digigit ular berbisa. Dan bukannya segera mengambil tindakan untuk mengeluarkan bisanya alih alih mengejar ular tersebut yang mengakibatkan terdorongnya racun ke seluruh sistem peredaran darah.

Walaupun kita tidak bisa memastikan usaha tersebut akan berdampak positif tapi bukankah ketika kita mengangkat satu ujung tongkat maka ujung lain akan menyertai.

Ada satu hal yang lebih penting dan harus didahulukan sebelum memulai langkah perbaikan yaitu memeriksa ulang apakah idealisme yang kita miliki sudah sesuai dengan suara hati dan prinsip yang benar ataukah hanya berdasar kepentingan hawa nafsu yang terikat pada pencarian harta benda, ketenaran, kekuasaan, kesenangan, atau egoisme pribadi -yang seperti dinamakan sebuah hadits dengan kata wahn; cinta dunia dan takut mati. Biasanya konsekwensi dari itu adalah perjalanan mencari jati diri tidak akan pernah berakhir pada ketenangan; kita mungkin akan disebut orang yang mampu menembus kedalaman samudra dan keluasan langit biru tapi kita tidak akan pernah disebut sebagai spesies yang mampu berjalan di atas muka bumi sebagai manusia. Wallahu musta'an.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna