Perempuan dan Hak Politik Dalam Perspektif Islam


Oleh: Imam Taufiqurrasydin

Politik menurut Imam Al Ghozali, merupakan satu dari dua penopang tujuan manusia dalam kehidupan, sebagaimana yang dikutip Dr. Hasan Muhammad at Thahir Muhammad: “Semua tujuan manusia, hakikatnya, terdapat dalam dua penyangga; agama dan negara. Tercapainya tujuan agama tergantung pada negara, karena keduanya menyempurnakan satu sama lain. Ajaran agama tidak mungkin terwujud tanpa sistem duniawi.

Dunia, ibaratnya adalah syarat tegaknya ajaran agama. Karena dunia dalam perspektif Islam bersifat khusus. Sedang agama bersifat umum. Dunia merupakan ladang akhirat dan perangkat untuk mendekatkan diri pada Allah SWT. Bagi yang memahami hakikat dan tabiat dunia serta tidak menjadikannya sebagai tempat tinggal. Dengan kata lain, tak akan sempurna pelaksanaan agama tanpa negara, maka ibarat agama adalah asal muasal sesuatu, sedang kekuasaan adalah penjaga survival dari asal tersebut.
Dan setiap yang tak memiliki asal akan hancur, dan setiap yang tak memiliki penjaga akan hilang.”

Kehidupan seorang muslim tidak bisa dipisahkan dari persoalan berpolitik karena politik merupakan sarana efektif untuk merealisasikan kesempurnaan Islam. Setiap muslim yang mengaku beribadah kepada Allah SWT mempunyai hak untuk berpolitik, bahkan seorang muslim berkewajiban untuk mengaplikasikan politik secara islami guna merealisasikan islam secara kaffah. Berdasarkan atas mafhum istikhlaf inilah dasar diwajibkannya politik bagi umat Islam.

Menurut islam, perempuan mempunyai hak dalam berpolitik. Laki-laki dan perempuan berkewajiban untuk amar ma’ruf nahi munkar melalui beberapa cara –yang termasuk diantaranya dengan media politik. Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan. Namun demikian, bahwa semua hak tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodrati perempuan.

Dalil tentang legalitas perempuan untuk berpolitik terdapat di dalam Al-Qur’an, Sunah dan siroh yang di dalamnya tidak ada syubhat dan jidal.
Allah SWT berfirman: ”Orang–orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lainnya. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rosul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” (At-Taubah : 71).

Demikianlah Allah SWT telah menetapkan di dalam ayat-Nya bahwa perempuan mempunyai kelayakan secara mutlak seperti laki-laki. Kelayakan dalam kerjasama yang berhubungan dengan keuangan dan kemasyarakatan, kelayakan dalam membantu peperangan dan kelayakan berpolitik.

Hijrah pertama dan kedua shahabiyat ke Habasyah, juga bai’ah pertama dan kedua shahabiyat adalah dalil legalitas perempuan berpolitik. Bai’ah pertama adalah bai’ah untuk beriman kepada Allah SWT tanpa mempersekutukannya dengan apapun, tidak berzina dan tidak akan berbuat dusta. Sedangkan bai’ah kedua adalah bai’ah yang berhubungan dengan politik: menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, menjaga dakwah seperti mereka menjaga anak-anak dan hartanya.

Jumhur ulama telah sepakat bahwa tidak semua kerja-kerja pemerintahan atau perpolitikan boleh dipegang perempuan, oleh karena itu perlu adanya pemetaan tentang jabatan yang boleh dipegang oleh perempuan ataupun tidak:
Pertama, jabatan umum yang berkaitan dengan urusan perdata. Misalnya urusan perniagaan, pertanian, pertambangan, pendidikan dan lain-lain. Maka para ulama bersepakat membolehkan karena tidak berbenturan langsung dengan emosional mereka. Maka merekapun boleh memegang jabatan apapun, bahkan pemimpin dalam bidang-bidang itu. Namun kebebasan ini masih tetap harus mempertimbangkan aspek mashlahat dan madharat.

Kedua, jabatan yang berkaitan dengan urusan pidana. Misalnya urusan pembunuhan, pemerkosaan, qishas, hudud dan lain-lain. Para ulama bersepakat untuk tidak membolehkan perempuan terjun langsung mengurusi perkara pidana. Misalnya dengan memegang jabatan qadhi atau hakim. Karena melalui kaidah (saddu adz-dzarai`), bidang itu sangat berkaitan langsung dengan emosional perempuan sehingga memungkinkan terjadi ketidakadilan dalam memutuskan perkara. Sebagaimana dalam surat kabar al-Ittihad yang terbit di Abu Dhabi tanggal 23 Februari 1988, seorang hakim perempuan di Roma-Italia mengalami shoc, bahkan ayan, ketika mendengar pembunuhan seorang pendeta perempuan di Italia secara detail; memotong semua sendi badan yang terbunuh. Jika dalam persoalan mengusulkan ide-ide hukum atau memimpin lembaga-lembaga yang menganalisa tentang pelecehan hak-hak perempuan, maka ini diperbolehkan karena lebih dekat pada persoalan nahi munkar, bukan kehakiman.

Ketiga, khalifah atau kepala negara. Ulama bersepakat perempuan tidak boleh menduduki jabatan khilafah. Karena berdasarkan hadits la yufliha qaumun, Rasulullah Saw. melarang mereka memegang kekuasaan sebagai kepala negara dengan argumen mendasar; ketidakberuntungan yang akan mereka terima. Dan bila kita perhatikan, larangan itu lebih sharih ditujukan pada memegang kekuasaan sebagai kepala negara, bukan yang lain.

Perempuan berpolitik memang masih terjadi pro-kontra di antara ulama. Dan perlu adanya penanganan khusus dari ahlinya dalam hal ini. Semoga tulisan kecil ini bisa membuka wawasan kita bahwa sebagian perempuan juga mempunyai kafa’ah. Wallahu a’lam bisshowab.

 

kajian ISLAH Copyright © 2009 http://kajian-islah.blogspot.com by kajian Islah's zagazig-tafahna